Senin, 25 Februari 2019

PANGKALIMA DIKI KAMATANG ALAI

Masa keemasan kerajaan siong dibawah raja tumenggung suta Ono (tahun 1850 - 1874), menjadikan tanah Ma'anyan tentram, aman dan damai, salah satu cara memberikan rasa aman itu ialah kerajaan siong mendirikan basis kekuatan militer dibeberapa titik, salah satu nya di daerah lampeong (desa lampeong kecamatan pamatang karau kabupaten Barito Timur), di daerah lampeong ini didirikan basis kekuatan militer wilayah karau yang dinamakan benteng lampeong (sekitar tahun 1980 di desa lampeong masih berdiri kokoh tiang bendera kerajaan siong yang terbuat dari kayu Ulin) dimana tugas utama menjamin keamanan diwilayah ini, yang bertugas di benteng itu adalah para pangkalima dari berbagai bantai (kampung). Salah satu pangkalima yang bertugas di benteng itu adalah seorang Pangkalima yang bergelar PANGKALIMA DIKI KAMATANG ALAI, beliau berasal dari bantai PAMANGKA (desa PAMANGKA kecamatan dusun selatan kabupaten Barito Selatan), sebelum beliau menyetujui untuk ikut bergabung dengan kerajaan sotaono, beliau menitipkan sedikit kesaktiannya kedalam sebuah patung bersama-sama dengan pangkalima lainnya dari bantai PAMANGKA, yang kemudian dinamakan TOGA, dengan harapan bantai PAMANGKA dapat dilindungi karena disitu keluarga beliau bermukim, karena beliau sudah menikah dan mempunyai seorang anak. Sepeninggalan beliau, bantai PAMANGKA aman dan damai. Setelah menitipkan sedikit kesaktian pangkalima Diki kamatang alai menyatakan bergabung dengan Kerajaan siong dibawah kepemimpinan tumenggung suta Ono sebagai raja kerajaan siong, dan pangkalima Diki kamatang alai ditugaskan menjaga benteng di bantai lampeong. Tugas yang begitu berat dijalankan namun tidak menjadi masalah untuk seorang pangkalima, namun suatu hari, dan hari itu menjadi nasib yang na'as bagi seorang pangkalima ini, dimana beliau ditugaskan oleh tumenggung suta ono untuk menangkap perampok yang sangat terkenal sadis dan ganas, pangkalima Diki kamatang alai ini langsung bergerak untuk menangkap perampok itu tadi, tepat didaerah ampah (sekarang kelurahan Ampah kota kecamatan dusun tengah kabupaten Barito timur) beliau berhasil menangkap perampok itu dengan pertarungan yang sengit dan cukup melelahkan. Setelah menangkap perampok tadi, beliau langsung membawa perampok itu menuju benteng di lampeong, namun karena pertarungan yang melelahkan, pangkalima Diki kamatang alai ketiduran, dengan sigap si perampok itu melarikan diri. Setelah pangkalima Diki kamatang alai bangun, beliau terkejut melihat perampok tadi sudah melarikan diri, tersentak dibenak pangkalima Diki kamatang alai jika dia melaporkan kejadian akibat kelalaiannya sehingga perampok yang sangat berbahaya itu melarikan diri, maka beliau bisa di berikan sanksi yang berat oleh raja suta Ono. setelah peristiwa itu, pangkalima Diki kamatang alai pun memutuskan untuk melarikan diri, beliau meninggalkan istri dan anaknya yang ada di bantai pamangka, beliau melarikan diri ke arah bantai Tamiang (sekarang Tamiang Layang kecamatan dusun timur kabupaten Barito Timur) dan masuk sebelah kiri tepat didaerah bantai HAYAPING (desa hayaping kecamatan Awang kabupaten Barito Timur), pangkalima Diki kamatang alai bersembunyi di bantai hayaping itu, di tengah pelariannya tadi di bantai HAYAPING, pangkalima Diki kamatang alai bertemu seorang wanita cantik, dan mereka berdua memutuskan untuk menikah. Setelah pernikahan mereka berdua, tersiar kabar bahwa kerajaan siong mengerahkan seluruh pangkalima untuk mencari seorang pangkalima pemimpin benteng lampeong yang hilang (rumor itu tersiar, sebenarnya bukan untuk menangkap Pangkalima Diki Kamatang Alai, tetapi mencari beliau dengan harapan masih hidup, karena Pangkalima Diki Kamatang Alai berhubungan baik dengan Tumenggung Suta Ono). ketika kabar itu didengar oleh pangkalima Diki kamatang alai, beliau pun kembali melarikan diri membawa istri yang baru dinikahinya, salah satu alasan juga dari beliau menghindar dari kerajaan siong adalah, beliau sudah tidak ingin lagi menjadi seorang pangkalima dibawah naungan kerajaan siong, Pangkalima Diki Kamatang Alai ingin menjadi rakyat biasa, demi menjaga hubungan baik dengan Raja Sota Ono dan Kerajaan Siong, Pangkalima Diki Kamatang Alai memutuskan tetap bersembunyi dan Pangkalima Diki Kamatang Alai beserta istri nya memutuskan untuk hidup menuju bantai Buntok (kota Buntok kecamatan dusun selatan kabupaten Barito Selatan). Waktu begitu cepat berlalu, pangkalima Diki kamatang alai bermukim di Buntok berserta istrinya dengan aman dan tentram, namun selama 15 tahun pernikahan, mereka belum mempunyai keturunan. Suatu ketika sepulang dari ladang, mereka berdua tidak dapat meneruskan perjalanan untuk kembali ke rumah di bantai Buntok, karena hari sudah malam, akhirnya mereka memutuskan untuk bermalam ditepi danau malawen (danau malawen terletak di desa sanggup kecamatan dusun selatan kabupaten Barito Selatan). Saat mereka tidur, mereka berdua bermimpi didatangi sepasang buaya putih, posisinya buaya putih yang laki-laki berada didepan dan buaya putih yang perempuan berada di belakang buaya putih laki-laki, buaya putih perempuan ini terlihat seperti malu untuk menampakan dirinya. Buaya putih laki-laki berkata " cukuplah kami TAMANANG (tidak punya anak), jangan sampai kalian berdua, ini kami berikan anak untuk kalian berdua, jika anak kalian sudah lahir nanti, mandikan di danau malawen ini", dan buaya putih laki-laki ini kemudian mengatakan bahwa mereka adalah JIWATA ATAU RAJA JIWATA penguasa alam bawah yang berada di danau malawen. si perempuan pun terbangun, mendengar si istri bangun pangkalima Diki kamatang alai pun terbangun, dan istrinya pun menceritakan mimpinya barusan, dan begitu juga sang suami terkejut ternyata mimpinya sama seperti yang diceritakan si istri. Setahun setelah kejadian itu, sang istri pun mengandung, dan melahirkan, dan setelah sekitar umur 5 tahun mereka pun membayar nazar untuk memandikan sang anak di danau malawen, sang anak di letakan danau malawen dan bermain di danau malawen, setelah puas bermain ndi danau malawen sang anak pun diangkat kedarat oleh si ayah, namun tanpa disadari batang bambu panjang yang panjang nya kurang lebih 20 meter jatuh ke danau malawen, untung batang bambu itu sempat ditangkap, dari situlah baru diketahui bahwa tempat mandi si anak, batang bambu panjang 20 meter masih belum sampai menyentuh dasar danau malawen. Begitulah tradisi memandikan anak di danau malawen diwariskan turun temurun kepada keturunan PANGKALIMA Diki kamatang alai ini, sampai kepada jaman almarhum kakek saya, waktu itu umur beliau kurang lebih umur 6 tahun dan sepupu satu kali almarhum kakek saya yang masih hidup yang berdomisili di Palangkaraya bernama KAHARANUS RAWIT SULU, yang saat itu berusia 1 tahun, mereka dimandikan di danau malawen, mereka dibiarkan berenang sendiri di danau malawen oleh orang tua mereka, yang menjadi keanehan kakek saya yang berdomisili dipalangkaraya itu walapun umurnya kurang lebih 1 tahun juga dibiarkan mandi di danau malawen. Dan masa mereka inilah diputuskan untuk tradisi memandikan anak di danau malawen di sudahi untuk selama-lamanya dan tubuh mereka diganti dengan patung. Menurut kisah almarhum kakek saya, karena waktu itu beliau sudah anak-anak yang cukup tahu, beliau berkata dia mandi di danau malawen berdiri seperti diatas sebatang pohon dan ranting-ranting pohon terasa dimana-mana tapi ketika mereka sudah diangkat keatas, kedalam danau malawen diperkirakan sekitar 60 meteran. Walaupun tradisi memandikan anak ini sudah tidak dilaksanakan lagi. namun, kisah ini menjadi kisah sejarah keluarga yang tidak bisa dilupakan sampai kapanpun, terlebih dari semuanya itu, bahwa keturunan dari pangkalima Diki kamatang alai adalah pemberian dari JIWATA ATAU RAJA JIWATA ruh suci penguasa dari alam bawah yang berada di danau malawen.
Berdasarkan keturunan dari ayah saya, nenek moyang laki-laki saya berasal dari desa pamangka (kabupaten Barito Selatan) dan nenek moyang perempuan saya berasal dari desa hayaping (kabupaten Barito Timur)
DITULIS OLEH : WAHYU HADRIANTO, S.Th

Tidak ada komentar:

Posting Komentar