Sabtu, 24 Agustus 2019

PAJU EPAT, KAMPUNG SEPULUH DAN BANUA LIMA


Setelah kekalahan kerajaan Nansarunai pada tahun 1358, ke dua belas pangunraun bersama-sama seluruh masyarakat Nansarunai yang masih hidup dengan dibantu oleh saudara orang Ma’anyan dari Madagaskar bertekad membalas kekalahan kerajaan Nansarunai. Target penyerangan tersebut adalah Armada Majapahit di daerah Tanjung Negara tahun 1362. Dalam serangan balasan tersebut, berakhir dengan kekalahan pihak Majapahit dan menewaskan banyak prajurit Majapahit beserta Laksamana Nala selaku panglima perang Majapahit.
Akibat dari kekalahan pihak Majapahit yang menewaskan panglima perang Majapahit di wilayah Tanjung Negara, dengan cepat Patih Gajah Mada mengirim Mpu Jatmika ke tanah Ma'anyan yang bertugas untuk memperhatikan pergerakkan masyarakat Ma’anyan dan menjaga keutuhan Kerajaan Majapahit di tanah Ma'anyan. Untuk memudahkan tugas tersebut, Mpu Jatmika mendirikan dua kerajaan baru dibekas Kerajaan Nansarunai yang di beri nama Kerajaan Daha dan Kerajaan Kuripan, sebagai bagian kerajaan Majapahit di tanah Ma'anyan.
Pengaruh dari kedua kerajaan baru ini membagi masyarakat Ma’anyan kedalam tiga golongan secara khusus dari segi agama dan bahasa sebagai berikut :
1.   Golongan masyarakat yang memeluk agama Hindu Syiwa sejak tahun 1358, dan berpindah memakai bahas Melayu.
2. Golongan masyarakat yang juga memeluk agama Hindu Syiwa, tetapi masih tetap bertahan mempergunakan bahasa Ma’anyan  kuno.
3. Golongan masyarakat yang masih menganut kepercayaan terhadap roh Nenek Moyang dan tetap memakai bahasa pengantar dalam bahasa Ma’anyan atau bahasa Nansarunai. Dua kerajaan tersebut tidak mendapatkan gangguan dari masyarakat Ma’anyan, secara khusus dari golongan masyarakat ketiga ini.
Selanjutnya, Mpu Jatmika mendirikan lagi sebuah kerajaan di bekas armada Majapahit di tanjung negara yaitu Negara Dipa. Ketiga kerajaan ini membawa sebuah agama baru yaitu agama Hindu Syiwa dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan. Tetapi masuknya agama Hindu Syiwa tersebut tidak mengubah bentuk balai adat Ijambe masyarakat Dayak Ma’anyan.
Semakin hari pengaruh ketiga kerajaan Hindu Syiwa tersebut semakin luas sehingga membuat bangsa Ma’anyan terpojok ke daerah bangi sampa tulen dan membangun sebuah kampung baru di wilayah Bangi Sampa Tulen, yang terkenal dengan sebutan NANSARUNAI WAO atau Waruga Lewu Hante. Pembangunan di daerah Bangi Sampa Tulen ini diharapkan dapat menciptakan keadaan yang lebih damai serta sejahtera bagi masyarakat Ma’anyan. Namun karena terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen, masyarakat Ma’anyan kembali kacau balau. Kemegahan dari NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen harus musnah di lalap api sekitar tahun 1389 untuk selama-lamanya.
Setelah NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen terbakar habis pada tahun 1389, berkumpulah para Patih dan Uria untuk mengambil langkah selanjutnya, agar masyarakat Ma’anyan yang selamat dapat memperolah kehidupan yang damai, aman dan sejahtera. Dimulailah perjalanan pengembaraan dari Gunung Rumung, Banua Lawas, Bakumpai Lawas, Wamman Sabuku, Labuhan Amas, Sandi Agung, Sandi Laras, Kupang Sunnung, Danau Kien, setelah itu ke Baras Ruku dan hingga ke Danau Halaman.
Di kampung Danau Halaman ini, para Uria dan Patis dikumpulkan oleh PANGUNDRAUN PITU dibawah nasehat seorang tokoh Bangsa Ma'anyan serta kepala adat bangsa Ma'anyan yaitu Patis Mawonto. Kepada para Uria dengan dibantu oleh para Patis diperintahkan untuk membawa hukum adat tentang kehidupan dan hukum adat tentang kematian yang sudah disusun secara lengkap di Nansarunai. Mereka diperintahkan untuk menata kehidupan baru di wilayah masing-masing berdasarkan hukum adat Nansarunai. Pada periode ini terjadilah perpisahan besar  dalam Masyarakat Ma’anyan yang terkenal dengan sebutan Uria Pitu dan Patis Epat Polo (Uria Tujuh dan Patis Empatpuluh). Setiap Uria pergi ketempat baru dengan membawa unsur hukum adat Nansarunai :
1.   Uria Nata atau Uria Napulangit (beragama Islam) ke Telang dan Siong.
2.   Uria Ganting  ke Murutuwu.
3.   Uria Mawuyung ke Balawa.
4.   Uria Puneh ke Taboyan, Lawangan Bawo.
5.   Uria Pulang Giwa ke Kahayan dan Kapuas.
6.   Uria Rantau atau Retan ke Sungai Karau.
7.   Uria Putera ke Dusun Sahimin.
Sesudah perpisahan besar para Uria dan Patis, lahir lagi dua uria di wilayah Bangi Sampa Tulen, yaitu :
1.   Uria Biring membawa hukum adat ke daerah Lasi Muda/Dayu
2.   Uria Renn’a membawa hukum adat ke daerah Patai Suku Hawa.
Perpisahan besar ini membagi masyarakat Ma’anyan ke dalam tiga perkampungan utama dengan tetap menggunakan hukum adat Nansarunai, yaitu :
1.     Kelompok pertama menamakan kelompok mereka Banua Lima yang sebenarnya adalah tumpuk dime. Setelah masuknya pengaruh melayu, wilayah tumpuk dime berubah cara penyebutannya menjadi banua lima yang dihuni oleh para politisi yang dianggap mampu bernegosiasi. Banua lima terdiri dari Jangkung, Hadiwalang, Uwai, Pulau Padang, Kayunringan.
2.    Kelompok ke dua menamakan kelompok mereka Kampung Sepuluh yang sebenarnya adalah tumpuk sepuluh. Perubahan kata ini dipengaruhi oleh lafal melayu dari kata tumpuk yang sama artinya dengan kampung sehingga sebutan yang lebih dikenal dengan sebutan kampung sepuluh yang dihuni oleh para prajurit dan kasatria kerajaan nansarunai sebagai benteng . Posisi kampung sepuluh melengkung seperti setengah lingkaran membentuk seperti benteng  untuk menjaga paju epat serta siap berperang ketika sewaktu-waktu musuh menyerang. Kampung sepuluh terdiri dari Murung Kliwen, Pimpingen, Mungsit, Harara, Patai, Lasi Muda / Dayu, Sarabon, Pagar, Tangkan, Bangi Sampa Tulen.
3.  Kelompok ketiga menamakan kelompok mereka Paju Epat juga dipengaruhi oleh lafal melayu jika diterjemahkan sebutan paju adalah kelompok, sebutan epat  adalah empat. Jadi, paju epat berarti kelompok empat yang dihuni oleh para tokoh-tokoh, para pejabat dan keturunan dari Raja-Raja kerajaan Nansarunai. Paju epat terdiri dari Telang, Siong, Balawa, Murutuwu. Kelompok ini menghendaki upacara tentang duka cita adalah ijambe
Maksud PANGUNDRAUN PITU dengan dibantu para Uria dan para Patis tidak meneruskan lagi bentuk kerajaan karena takut terjadi lagi peperangan dengan kerajaan lain, secara khusus dengan pihak majapahit yang belum tentu dimenangkan oleh pihak bangsa Ma'anyan, sedangkan pertolongan tidak bisa diharapkan dari orang-orang maanyan madagaskar seperti saat perang periode kedua tahun 1362. Oleh sebab itu kepada seluruh masyarakat bangsa Ma’anyan dipersilahkan mencari tempat yang baru sesuai dengan pembagian wilayah-wilayah baru yang sudah ditentukan oleh para Uria dan Patis. Pembagian wilayah-wilayah baru sebagai tempat perkampungan bangsa Ma’anyan ini yang dikenal dengan nama Banua Lima,  Kampung  Sepuluh  dan Paju Epat. Terbaginya tiga wilayah dari perkampungan Dayak Ma’anyan yang baru ini, sebenanya adalah sebuah taktik perang serta strategi penyelamatan untuk bangsa Ma'anyan
1. Banua Lima adalah masyarakat Dayak Ma’anyan yang dianggap mampu berpolitik dan orang-orang pintar. Banua lima yang dihuni oleh para politisi dikarenakan menurut perhitungan PANGUDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua bahwa musuh kemungkinan akan menyerang melalui banua lima terlebih dahulu, karena wilayah banua lima secara langsung berdampingan dengan tiga kerajaan besar yaitu, negara dipa, kerajaan daha dan kerajaan kuripan yang merupakan bagian kerajaan majapahit di tanah Ma'anyan dibawah kepemimpinan mpu jatmika. 
2. ketika musuh datang menyerang Banua Lima, Banua Lima bertugas untuk bernegosiasi secara  politik untuk menahan kekuatan musuh. Namun, ketika Banua Lima sudah tidak mampu lagi menahan kekuatan lawan dengan cara berpolitik, maka musuh langsung akan berhadapan dengan sepuluh kampung yang dihuni oleh para prajurit dan kasatria Nansarunai yang sakti dan siap bertempur. 
3. ketika Kampung Sepuluh dan Banua Lima sudah tidak mampu lagi menahan serangan dari musuh, tugas Paju Epat sebagai penyelamat, dengan membawa masyarakat bangsa Ma’anyan yang masih hidup untuk melarikan diri melalui sungai telang menuju  sungai Barito. Karena itu lah wilayah Paju Epat sangat berdekatan dengan sungai barito.
Taktik perang serta strategi penyelamatan yang telah direncanakan oleh PANGUNDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua agar masyarakat bangsa Ma'anyan yang sudah kehabisan segala-galanya oleh dampak perang dalam beberapa periode yang menghancurkan segenap kehidupan masyarakat bangsa Ma'anyan  di Nansarunai serta memaksa mereka tersudut kepedalaman agar masyarakat Ma’anyan dapat memperolah kehidupan yang damai, aman dan sejahtera . Karena, hasil perundingan PANGUDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua di kampung Danau Halaman, menyatakan bahwa masyarakat bangsa Ma;anyan sudah terdesak dan tidak ada lagi tempat pelarian, sekarang hanya ada dua pilihan, yaitu :
1.Berperang sampai tetes darah penghabisan, atau
2. Menyelamatkan diri kearah yang tidak diketahui rimbanya. 
Dengan satu tekad, keturunan Nansaruani harus tetap hidup serta kejayaannya tidak boleh hilang untuk selama-lamanya. Inilah yang terjadi dalam sejarah Dayak Maanyan, perasaan saling menjaga, melindungi dan persaudaraan menjadi dasar utama dalam kehidupan bersama. Harapan agar masyarakat Ma’anyan dapat memperoleh kehidupan yang damai, aman dan sejahtera dapat dijaga sampai sekarang banua lima, kampung sepuluh dan paju epat tetap bertahan sebagai tiga wilayah besar masyarakat maanyan. Kerajaan nansarunai memang sudah hancur, hilang ditelan jaman. Kerajaan Nansarunai sekarang hanya tinggal sejarah yang kadang selalu orang pertanyakan, apakah memang benar kerajaan Nansarunai itu ada? Jawaban dari pertanyaan ini yang bisa saya berikan ”Nansarunai masih ada, tetap berdiri kokoh bersama kejayaannya di dalam setiap hati dan seluruh kehidupan masyarakat maanyan dimanapun berada".

Bukti sekarang bahwa sejarah ini benar adanya, dapat kita lihat melalui cara berbicaranya atau logat bicara mereka yang berbeda, yaitu :
1. banua lima adalah kelompok para politisi terlihat dari tata cara bahasa kelompok ini sangat halus.
2. kampung sepuluh adalah kelompok para prajurit terlihat dari tata bahasanya agak kasar.
3. paju epat adalah kelompok yang dihuni oleh para tokoh-tokoh, para pejabat dan keturunan dari Raja-Raja kerajaan Nansarunai terlihat dari tata bahasanya yang halus, tegas dan berwibawa yang masih memperlihatkan tata cara tegur sapa para pejabat kerajaan.

keterangan gambar :
1. Berwarna merah adalah PAJU EPAT
2. Berwarna kuning adalah KAMPUNG SAPULUH
3. Berwarna hijau adalah BANUA LIMA
4. Tanda panah berwarna merah adalah perkiraaan arah musuh akan datang menyerang bangsa Ma'anyan, karena di daerah itu adalah daerah strategis berdekatan dengan tiga kerajaan besar yaitu KERAJAAN DAHA, KERAJAAN KURIPAN DAN NEGARA DIPA.
5. Tanda panah berwarna hijau adalah arah yang merupakan tempat penyelamatan bangsa Ma'anyan melalui sungai Telang menuju sungai Barito jika terjadi Penyerangan / perang dengan tiga kerajaan besar yaitu KERAJAAN DAHA, KERAJAAN KURIPAN DAN NEGARA DIPA. arah itu menunjukan sungai Barito sebagai tempat penyelamatan.

Disusun Oleh : Wahyu Hadrianto, S.Th







NAMA WAKTU DALAM SUKU DAYAK MA'ANYAN

Di dalam suku Dayak Ma'anyan, Pengucapan kata salam yang ditujukan berhubungan dengan waktu pada satu hari dan satu malam, sebenarnya tidak hanya eksklusif atau terbatas pada tiga pengucapan salam yang biasa diucapkan oleh orang Ma'anyan masa kini, yaitu :
1. Selamat kaiyat

2. Selamat penah andrau
3. Selamat kamalem


Tetapi ada 19 pengucapan kata salam yang ditunjukkan untuk menunjukkan waktu. 
Pengucapan salam yang ditujukan kepada waktu tertentu itu juga, menunjukkan nama dari setiap waktu yang bergerak dalam satu hari satu malam.
Bangsa Dayak Ma'anyan kuno menggunakan pertanda alam untuk menentukan waktu, adapun nama-nama mengenai waktu, yaitu :

1. Kaiyat
Pukul 06.00 - 07.00 WIB
2. Mateandrau mam'mai tum'mang sunruk
pukul 07.00 - 08.30 WIB
3. Tangah naik
Pukul 08.30-10.00 WIB
4. Mam'mai sa'eto
Pukul 10.00 - 11.30 WIB
5. Sa'eto
Pukul 11.30-12.00 WIB
6. Luah sa'eto (ki'le)
Pukul 12.00-13.30 WIB
7. Mateandrau mihantak
Pukul 13.30-15.30 WIB
8. Mateandrau hang papuru kayu
Pukul 15.30-16.30 WIB
9. Mateandrau hang papuru pu'ai
Pukul 16.30-17.30 WIB
10. Kariwe
Pukul 17.30-18.00 WIB
11. Sirum
Pukul 18.00-18.30 WIB
12. Tukang iyeng
Pukul 18.30-19.00 WIB
13. Kamalem
Pukul 19.00-21.00 WIB
14. Nyungkat penah malem
Pukul 21.00-23.30 WIB
15. Penah malem
Pukul 23.30-24.00 WIB
16. Luah penah malem
Pukul 24.00-02.00 WIB
17. Dami hari han'te (Kokok ayam jago yang pertama)
Pukul 02.00-04.00 WIB
18. Dami hari rumis ( Kokok ayam jago yang kedua)
Pukul 04.00-05.30 WIB
19. Singkat ra'ai
Pukul 05.30-06.00 WIB
Jadi, antara waktu yang satu dengan waktu yang lain itu tidak sama pengucapan nya. Mereka berbeda-beda pengucapan, tergantung jam berapa itu.
Itulah salah satu kehebatan nenek moyang suku Dayak Ma'anyan ini, sebelum dibawanya jam untuk menunjukkan waktu oleh para pendatang, bangsa Ma'anyan sudah terlebih dulu punya jam untuk menunjukkan waktu dengan cara bangsa Ma'anyan itu sendiri.
Semoga warisan berharga dari nenek moyang bangsa Ma'anyan ini dapat menjadi kebanggaan bangsa Ma'anyan itu sendiri sebagai jati diri dan harga diri bangsa Ma'anyan.

ARTI SIMBOL W ADALAH WIRANG

Saya berkali-kali bertanya kepada seorang ibu di facebook dengan nama akun Pebruantine Antin, beliau yang memposting foto ini di Facebook tepat di group perkumpulan Dayak Ma'anyan, group Facebook tempat keturunan bangsa Ma'anyan saling bertemu dan saling menyapa satu dengan yang lain dengan spirit Nansarunai.

Ibu bisa menjelaskan kepada saya arti simbol W itu, karena jika saya mencoba membaca arti dari bahasa Belanda itu mengatakan bahwa simbol W itu adalah simbol yang tinggi, simbol yang niscaya adalah sebuah simbol yang sangat dihormati oleh bangsa Ma'anyan. Dengan rasa penasaran saya, opini yang saya bangun adalah rasa praduga bahwa mungkin, mungkin sebuah kebenaran bahwa simbol W itu bukan simbol yang biasa. Saya pun berdoa, seraya berharap, ketika saya mengajukan pertanyaan ini, beliau langsung membuka data dan mencari arti dari simbol W itu, agar dapat memberi penjelasan kepada saya, serta menjawab rasa penasaran saya.
Dari penjelasan beliau mengatakan bahwa arti dari simbol W berarti WIRANG, karena dimasa lampau ada WIRANG RAMA (Mungkin menurut hemat saya, WIRANG RAMA ini seperti sebuah perkumpulan dari masyarakat bangsa Ma'anyan di masa lalu), jika diartikan arti dari WIRANG RAMA itu berarti lumbung padi bersama, yang berati melambangkan kemakmuran bersama, senasib sepenanggungan bersama.
Berdasarkan penjelasan beliau ini ada kesesuaian dengan praduga saya sejak awal bahwa simbol W itu bukan simbol yang biasa. Namun sebuah simbol yang memiliki arti yang mendalam bagi bangsa Ma'anyan.

Walaupun sejarah tentang simbol W ini belum lah lengkap, namun bisa menjadi sebuah tesis pertama untuk membuka tabir sejarah ketahapan selanjutnya.

Semoga ada, dari kawan-kawan yang lain yang mau melakukan sebuah penelitian yang akurat lagi dari sejarah simbol W itu.