Masa keemasan kerajaan siong dibawah raja tumenggung suta Ono (tahun
1850 - 1874), menjadikan tanah Ma'anyan tentram, aman dan damai, salah
satu cara memberikan rasa aman itu ialah kerajaan siong mendirikan basis
kekuatan militer dibeberapa titik, salah satu nya di daerah lampeong
(desa lampeong kecamatan pamatang karau kabupaten Barito Timur), di
daerah lampeong ini didirikan basis kekuatan militer wilayah karau yang
dinamakan benteng lampeong (sekitar tahun 1980 di desa lampeong masih
berdiri kokoh tiang bendera kerajaan siong yang terbuat dari kayu Ulin)
dimana tugas utama menjamin keamanan diwilayah ini, yang bertugas di
benteng itu adalah para pangkalima dari berbagai bantai (kampung). Salah
satu pangkalima yang bertugas di benteng itu adalah seorang Pangkalima
yang bergelar PANGKALIMA DIKI KAMATANG ALAI, beliau berasal dari bantai
PAMANGKA (desa PAMANGKA kecamatan dusun selatan kabupaten Barito
Selatan), sebelum beliau menyetujui untuk ikut bergabung dengan kerajaan
sotaono, beliau menitipkan sedikit kesaktiannya kedalam sebuah patung
bersama-sama dengan pangkalima lainnya dari bantai PAMANGKA, yang
kemudian dinamakan TOGA, dengan harapan bantai PAMANGKA dapat dilindungi
karena disitu keluarga beliau bermukim, karena beliau sudah menikah dan
mempunyai seorang anak. Sepeninggalan beliau, bantai PAMANGKA aman dan
damai. Setelah menitipkan sedikit kesaktian pangkalima Diki kamatang
alai menyatakan bergabung dengan Kerajaan siong dibawah kepemimpinan
tumenggung suta Ono sebagai raja kerajaan siong, dan pangkalima Diki
kamatang alai ditugaskan menjaga benteng di bantai lampeong. Tugas yang
begitu berat dijalankan namun tidak menjadi masalah untuk seorang
pangkalima, namun suatu hari, dan hari itu menjadi nasib yang na'as
bagi seorang pangkalima ini, dimana beliau ditugaskan oleh tumenggung
suta ono untuk menangkap perampok yang sangat terkenal sadis dan ganas,
pangkalima Diki kamatang alai ini langsung bergerak untuk menangkap
perampok itu tadi, tepat didaerah ampah (sekarang kelurahan Ampah kota
kecamatan dusun tengah kabupaten Barito timur) beliau berhasil menangkap
perampok itu dengan pertarungan yang sengit dan cukup melelahkan.
Setelah menangkap perampok tadi, beliau langsung membawa perampok itu
menuju benteng di lampeong, namun karena pertarungan yang melelahkan,
pangkalima Diki kamatang alai ketiduran, dengan sigap si perampok itu
melarikan diri. Setelah pangkalima Diki kamatang alai bangun, beliau
terkejut melihat perampok tadi sudah melarikan diri, tersentak dibenak
pangkalima Diki kamatang alai jika dia melaporkan kejadian akibat
kelalaiannya sehingga perampok yang sangat berbahaya itu melarikan diri,
maka beliau bisa di berikan sanksi yang berat oleh raja suta Ono.
setelah peristiwa itu, pangkalima Diki kamatang alai pun memutuskan
untuk melarikan diri, beliau meninggalkan istri dan anaknya yang ada di
bantai pamangka, beliau melarikan diri ke arah bantai Tamiang (sekarang
Tamiang Layang kecamatan dusun timur kabupaten Barito Timur) dan masuk
sebelah kiri tepat didaerah bantai HAYAPING (desa hayaping kecamatan
Awang kabupaten Barito Timur), pangkalima Diki kamatang alai bersembunyi
di bantai hayaping itu, di tengah pelariannya tadi di bantai HAYAPING,
pangkalima Diki kamatang alai bertemu seorang wanita cantik, dan mereka
berdua memutuskan untuk menikah. Setelah pernikahan mereka berdua,
tersiar kabar bahwa kerajaan siong mengerahkan seluruh pangkalima untuk
mencari seorang pangkalima pemimpin benteng lampeong yang hilang (rumor
itu tersiar, sebenarnya bukan untuk menangkap Pangkalima Diki Kamatang
Alai, tetapi mencari beliau dengan harapan masih hidup, karena
Pangkalima Diki Kamatang Alai berhubungan baik dengan Tumenggung Suta
Ono). ketika kabar itu didengar oleh pangkalima Diki kamatang alai,
beliau pun kembali melarikan diri membawa istri yang baru dinikahinya,
salah satu alasan juga dari beliau menghindar dari kerajaan siong
adalah, beliau sudah tidak ingin lagi menjadi seorang pangkalima dibawah
naungan kerajaan siong, Pangkalima Diki Kamatang Alai ingin menjadi
rakyat biasa, demi menjaga hubungan baik dengan Raja Sota Ono dan
Kerajaan Siong, Pangkalima Diki Kamatang Alai memutuskan tetap
bersembunyi dan Pangkalima Diki Kamatang Alai beserta istri nya
memutuskan untuk hidup menuju bantai Buntok (kota Buntok kecamatan dusun
selatan kabupaten Barito Selatan). Waktu begitu cepat berlalu,
pangkalima Diki kamatang alai bermukim di Buntok berserta istrinya
dengan aman dan tentram, namun selama 15 tahun pernikahan, mereka belum
mempunyai keturunan. Suatu ketika sepulang dari ladang, mereka berdua
tidak dapat meneruskan perjalanan untuk kembali ke rumah di bantai
Buntok, karena hari sudah malam, akhirnya mereka memutuskan untuk
bermalam ditepi danau malawen (danau malawen terletak di desa sanggup
kecamatan dusun selatan kabupaten Barito Selatan). Saat mereka tidur,
mereka berdua bermimpi didatangi sepasang buaya putih, posisinya buaya
putih yang laki-laki berada didepan dan buaya putih yang perempuan
berada di belakang buaya putih laki-laki, buaya putih perempuan ini
terlihat seperti malu untuk menampakan dirinya. Buaya putih laki-laki
berkata " cukuplah kami TAMANANG (tidak punya anak), jangan sampai
kalian berdua, ini kami berikan anak untuk kalian berdua, jika anak
kalian sudah lahir nanti, mandikan di danau malawen ini", dan buaya
putih laki-laki ini kemudian mengatakan bahwa mereka adalah JIWATA ATAU
RAJA JIWATA penguasa alam bawah yang berada di danau malawen. si
perempuan pun terbangun, mendengar si istri bangun pangkalima Diki
kamatang alai pun terbangun, dan istrinya pun menceritakan mimpinya
barusan, dan begitu juga sang suami terkejut ternyata mimpinya sama
seperti yang diceritakan si istri. Setahun setelah kejadian itu, sang
istri pun mengandung, dan melahirkan, dan setelah sekitar umur 5 tahun
mereka pun membayar nazar untuk memandikan sang anak di danau malawen,
sang anak di letakan danau malawen dan bermain di danau malawen, setelah
puas bermain ndi danau malawen sang anak pun diangkat kedarat oleh si
ayah, namun tanpa disadari batang bambu panjang yang panjang nya kurang
lebih 20 meter jatuh ke danau malawen, untung batang bambu itu sempat
ditangkap, dari situlah baru diketahui bahwa tempat mandi si anak,
batang bambu panjang 20 meter masih belum sampai menyentuh dasar danau
malawen. Begitulah tradisi memandikan anak di danau malawen diwariskan
turun temurun kepada keturunan PANGKALIMA Diki kamatang alai ini, sampai
kepada jaman almarhum kakek saya, waktu itu umur beliau kurang lebih
umur 6 tahun dan sepupu satu kali almarhum kakek saya yang masih hidup
yang berdomisili di Palangkaraya bernama KAHARANUS RAWIT SULU, yang saat
itu berusia 1 tahun, mereka dimandikan di danau malawen, mereka
dibiarkan berenang sendiri di danau malawen oleh orang tua mereka, yang
menjadi keanehan kakek saya yang berdomisili dipalangkaraya itu walapun
umurnya kurang lebih 1 tahun juga dibiarkan mandi di danau malawen. Dan
masa mereka inilah diputuskan untuk tradisi memandikan anak di danau
malawen di sudahi untuk selama-lamanya dan tubuh mereka diganti dengan
patung. Menurut kisah almarhum kakek saya, karena waktu itu beliau sudah
anak-anak yang cukup tahu, beliau berkata dia mandi di danau malawen
berdiri seperti diatas sebatang pohon dan ranting-ranting pohon terasa
dimana-mana tapi ketika mereka sudah diangkat keatas, kedalam danau
malawen diperkirakan sekitar 60 meteran. Walaupun tradisi memandikan
anak ini sudah tidak dilaksanakan lagi. namun, kisah ini menjadi kisah
sejarah keluarga yang tidak bisa dilupakan sampai kapanpun, terlebih
dari semuanya itu, bahwa keturunan dari pangkalima Diki kamatang alai
adalah pemberian dari JIWATA ATAU RAJA JIWATA ruh suci penguasa dari
alam bawah yang berada di danau malawen.
Berdasarkan keturunan dari ayah saya, nenek moyang laki-laki saya berasal dari desa pamangka (kabupaten Barito Selatan) dan nenek moyang perempuan saya berasal dari desa hayaping (kabupaten Barito Timur)
Berdasarkan keturunan dari ayah saya, nenek moyang laki-laki saya berasal dari desa pamangka (kabupaten Barito Selatan) dan nenek moyang perempuan saya berasal dari desa hayaping (kabupaten Barito Timur)
DITULIS OLEH : WAHYU HADRIANTO, S.Th