Kamis, 11 Maret 2021

  KEDAMUNGAN DAYU

Di wilayah besar bangsa Ma’anyan, yaitu Paju Epat, Kampung Sepuluh dan Banua Lima. secara khusus diwilayah Paju Epat, di wilayah Paju Epat terjadi pergolakan, pergolakan yang terjadi ini menurut seorang wadian dari Paju Epat yang bernama NYUPUR, diakibatkan oleh seorang URIA yang bernama URIA NAPULANGIT yang memutuskan tinggal di daerah Tampulangit, yang kemudian berkuasa didaerah Tampulangit, beliau seorang URIA yang beragama Islam, menurut cerita NYUPUR, setiap ada wanita cantik dari daerah Telang, Siong, Balawa dan Murutuwu, akan URIA NAPULANGIT bawa ke Tampulangit, dan akan URIA NAPULANGIT peristrikan, serta secara tidak langsung mengikuti agama URIA NAPULANGIT yaitu beragama Islam. oleh karena hal ini lah, wilayah PAJU EPAT kemudian terdesak, sebagai keturunan Raja dan Bangsawan dari kerajaan NANSARUNAI, Paju Epat mempunyai ikatan batin yang kuat dengan tradisi adat budaya leluhur dari kerajaan NANSARUNAI, dan harus bisa menjaganya sebaik mungkin.

Akibat pergolakan yang terjadi diwilayah Paju Epat ini, kemudian sangat menyita perhatian dari 2 wilayah besar yang lainnya yaitu Kampung Sepuluh dan Banua Lima, salah satunya yaitu keinginan para keturunan Raja dan Bangsawan dari kerajaan NANSARUNAI untuk membangun kerajaan Ma’anyan baru. Maka dipanggillah seluruh Tetua bangsa Ma’anyan dari ketiga wilayah besar bangsa Ma’anyan, untuk menanggapi hal itu. Maka berkumpullah seluruh Tetua bangsa Ma’anyan yang kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa, mereka menyetujui didirikannya sebuah kerajaan baru diwilayah Ma’anyan, namun salah satu syarat nya adalah para keturunan raja dan bangsawan dari kerajaan NANSARUNAI mencari tempat baru untuk membangun sebuah kerajaan, dan seorang raja yang memimpin kerajaan baru itu haruslah seorang DAMUNG. Salah satu alasan kenapa memilih seorang DAMUNG sebagai raja dikerajaan baru bangsa Ma'anyan ini adalah, dikarenakan DAMUNG itu sendiri adalah kasta tertinggi dalam stuktur kemasyarakatan baik secara hukum adat dan religi bangsa Ma'anyan. Dalam kepercayaan bangsa Ma'anyan, hanya DAMUNG yang bisa berkomunikasi dengan HIYANG PIUMUNG JAYA PIKULUWI atau Tuhan.

Dimulailah pencarian baru untuk menjadi tempat mendirikan kerajaan bangsa Ma’anyan, tempat yang baru ini kemudian disebut sebagai LASI MUDA atau daerah garapan baru. di LASI MUDA ini, kemudian berbondong-bondonglah masyarakan Ma’anyan dari Paju Epat pindah kedaerah LASI MUDA, dan siap mendirikan sebuah kerajaan baru, bersamaan dengan dibukanya daerah baru tersebut, di daerah Bangi Sampa Tulen atau Nansarunai Wao, lahir seorang URIA, yang sudah dipersiapkan sebagai raja dari kerajaan bangsa Ma’anyan yang baru. URIA ini bernama URIA BIRING, URIA BIRING dipercayakan untuk membawa hukum adat Nansarunai ke daerah LASI MUDA.

Sesampai URIA BIRING didaerah LASI MUDA, maka ia pun langsung diangkat oleh tetua bangsa Ma’anyan dari 3 wilayah besar bangsa Ma’anyan sebagai raja di kerajaan baru itu, URIA BIRING kemudian mendapatkan gelar baru yang diberikan kepadanya sebagai raja baru bagi bangsa Ma’anyan yaitu DAMUNG ULUI UNDRU  yang artinya “seorang DAMUNG yang turun dari khayangan”, karena yang menjadi raja adalah seorang DAMUNG maka kerajaan baru itu bernama, kerajaan KEDAMUNGAN DAYU, dan mempunyai singgasana kerajaan yang dibernama LEWU HANTE. Dibawah pemerintahan DAMUNG ULUI UNDRU dikerajaan KEDAMUNGAN DAYU ini, bangsa Ma’anyan mendapatkan kedamaian dan kesejahtraan seperti yang mereka harapkan.

KEDAMUNGAN DAYU merupakan kerajaan ke tiga bagi bangsa Ma'anyan, dimana kerajaan pertama bangsa Ma'anyan yaitu kerajaan NANSARUNAI hancur diserang oleh kerajaan Majapahit, kerajaan kedua bangsa Ma'anyan yaitu NANSARUNAI WAO di Bangi Sampa Tulen terbakar habis.

KEDAMUNGAN DAYU terletak di Desa Dayu, Kecamatan Karusen Janang Kabupaten Barito Timur, disana bisa dilihat bekas dari kerajaan KEDAMUNGAN DAYU, semoga Pemerintah Kabupaten Barito Timur dapat mendirikan kembali Lewu Hante Kedamungan Dayu, sebagai objek wisata serta menjadi menjadi objek sejarah tentang kemegahan bangsa Ma’anyan di masa lalu.

Di tulis oleh : Wahyu Hadrianto, S.Th

 

Senin, 08 Maret 2021

 TUMENGGUNG SUTA ONO

Tersiar kabar di seantero tanah Ma'anyan, bahwa ada seorang pemuda yang kemudian menginginkan berdirinya sebuah kerajaan baru di wilayah Paju Epat ditanah Ma'anyan. Sentak menanggapi kabar itu berkumpul lah para Damung dari seluruh tanah Ma'anyan serta Raja Ma,anyan yaitu Damung yang dipercara sebagai pemimpin bangsa ma'anyan dari kerajaan KEDAMUNGAN DAYU yang merupakan kerajaan tertua yang berdiri sebagai kerajaan Bangsa Ma'anyan yang ketiga setelah kehancuran Kerajaan NANSARUNAI yang diserang oleh Majapahit dan kerajaan NNASARUNAI WAO atau WARUGA LEWU HANTE yang terbakar, kerajaan KEDAMUNGAN DAYU ini menjadi kerajaan bangsa ma'anyan yang menjaga tiga wilayah daerah besar bangsa Ma,anyan yaitu Banua lima, Paju epat dan kampung sapuluh, dengan mengangkat seorang DAMUNG sebagai Raja di KEDAMUNGAN DAYU. Damung adalah sosok yang sangat dihormati dan mempunyai derajat paling tinggi di dalam struktur bangsa Ma'anyan, tujuan dari berkumpul nya para Damung ini yaitu mereka ingin mengetahui seberapa mampukah pemuda itu untuk menjadi Raja bangsa Ma'anyan, karena dia bukan seorang Damung ataupun keturunan dari Damung. Pemuda itu bernama ABU, ia berperawakan sama seperti orang Ma'anyan biasanya, rendah hati dan lemah lembut namun di dalam kelemah lembutan itu terpancar kekuatan yang maha dahsyat. Ketika para Damung bertemu dengan Abu, mereka pun bertanya seberapa mampu engkau menjadi Raja kami bangsa Ma'anyan? Si Abu ini pun memanggil ruh dari seluruh jagat raya, ia pun berubah menjadi sosok lain dengan kekuatan yang maha dahsyat, dengan kekuatan yang maha dahsyat itu ia mengamuk, ia merobohkan dan mematahkan pepohonan yang sangat besar, hanya dengan sentuhan jemari nya saja. Ia meyakinkan para Damung bahwa ia siap bertanggung jawab untuk menjadi Raja bangsa Ma'anyan, dengan kekuatan yang maha dahsyat itu pula keamanan dan kemakmuran ditanah Ma'anyan menjadi tanggungjawab nya. Melihat kekuatan yang maha dahsyat itu, para Damung pun tunduk dan mengangkat beliau menjadi seorang Raja. Abu kemudian mendapat gelar kehormatan menjadi TUMENGGUNG SUTA ONO, ia adalah Raja pertama yang menjadi Raja di KERAJAAN SIONG di wilayah Paju Epat.
Dengan berdirinya Kerajaan Siong, maka ada dua kerajaan besar di tanah Ma'anyan, yaitu Kerajaan Siong dan kerajaan Kedamungan Dayu. Dua kerajaan ini lah yang kemudian saling bekerja sama menjamin keamanan dan kemakmuran di seluruh tanah Ma'anyan.


Kamis, 12 September 2019

BAJU ZIRAH BANGSA MA'ANYAN

Bangsa Ma'anyan juga memiliki baju perang atau baju zirah, walapun sampai saat ini masih menjadi misteri dan tidak pernah ditampilkan ke khalayak umum.
Kenapa?
baju perang atau baju zirah ini hanya akan dipakai ketika akan berperang, karena ketika dipakai, maka ruh yang melindungi segenap bangsa Ma'anyan ini akan datang bersama dengan lengkap nya pakaian ini dipakai oleh bangsa Ma'anyan.
Seiring lengkap nya pakaian ini dipakai, maka lengkap lah juga seorang menjadi ksatria bangsa Ma'anyan, prajurit bangsa Ma'anyan yang sempurna, serta apa yang dinamakan ANAK NANYU.
Begini awal mula sejarah baju perang atau baju zirah bangsa Ma'anyan ini :
Ketika pangeran Idung kembali ke bekas kerajaan Nansarunai, setelah berlatih perang di Madagaskar, semangat menggebu-gebu itu memaksanya untuk berlatih keras, namun apalah daya, dia tidak memiliki kesaktian yang maha dahsyat itu. Yaitu, Kekuatan seorang dewa yang mampu menggempur musuh. Rasa sedih yang membayang-bayangi perjuangan nya, serta menjadi mimpi buruk yang tidak berkesudahan, hal itu pula yang yang membuat pangeran Idung merasakan ketakutan yang luar biasa, karena jika kalau perjuangan bangsa Ma'anyan untuk membalas dendam itu berakhir dengan kekalahan, maka akan menyebabkan musnahnya bangsa Ma'anyan untuk selama-lamanya, atau terjadi Genosida terhadap bangsa Ma'anyan (Genosida atau genosid (Bahasa Inggris: genocide) adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan atau (membuat punah) bangsa tersebut)
Ketakutan itu akhirnya dijawab oleh yang maha kuasa, ketika pangeran Idung tertidur, ia bermimpi bertemu seorang laki-laki yang gagah perkasa dengan warna kulit merah. Laki-laki itu datang dengan pakaian yang aneh, serta laki-laki itu menunjukkan pakaian yang ia gunakan kepada pangeran Idung, yaitu :
1. Bercelana pidann'ang, ialah jenis pakaian yang menutup kaki sampai ke batok tulang kaki.
2. Berbaju kapo ialah baju tanpa lengan
3. Menggunakan cawat kain sindai
4. Berlawung
5. Bersuntingkan daun anjulang atau bayam Istambul serta daun kamma't dengan sebilah taji atau pisau kecil yang diikat pada benang lawai dibagikan belakang kepala.
Laki-laki gagah perkasa itu berkata kalau pangeran Idung berpakaian yang ia pakai, maka ia mungkin bisa membantu memberikan semangat dalam peperangan untuk membalaskan dendam atas kematian Datu dan Dara.
Inilah riwayat dari baju perang atau baju zirah bangsa Ma'anyan kuno dimasa lalu. baju perang atau baju zirah bangsa Ma'anyan yang sudah sangat sulit kita temukan, bahkan sudah hilang.

ARTI BUMUH BUNGKUT

Sebuah ikatan atau hubungan keluarga dalam suku Dayak Ma'anyan disebut dengan BUMUH BUNGKUT
BUMUH BUNGKUT ini terdiri dari dua kata yaitu BUMUH DAN BUNGKUT.
1. pengertian BUMUH adalah suatu kelompok keluarga sampai generasi ke - 3 atau dalam bahasa Dayak Ma'anyan disebut santeluen. Hal ini juga berkaitan dengan hukum dalam perkawinan suku Dayak Ma'anyan, dimana dalam perkawinan suku Dayak Ma'anyan tidak diperbolehkan kawin jika masih santeluen, karena hal tersebut masih ada ikatan atau hubungan keluarga. Perkawinan diperbolehkan apabila sudah lewat dari generasi ke - 3 atau santeluen yaitu generasi ke - 4, generasi ke - 5 dan seterusnya. Apabila terjadi perkawinan yang masih dalam ikatan atau hubungan keluarga, hal tersebut bagi bangsa Ma'anyan dianggap tabu yang dalam bahasa Dayak Ma'anyan disebut padie (Tabu, pantangan, atau pantang larang adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat.)
2. BUNGKUT masih dalam keterikatan keluarga, tetapi masih terikat oleh hak milik yang sifatnya bersama. Contoh nya seperti kepemilikan bersama sebuah hepung pulau atau kebun buah-buahan.

Selasa, 03 September 2019

SENJATA KERIS SUKU DAYAK MA'ANYAN

Senjata keris (Dalam bahasa Dayak Ma'anyan disebut KARIS) di dalam suku Dayak Ma'anyan
Kita sering sekali mendengar bahkan melihat senjata keris, senjata keris itu sendiri menjadi senjata tradisional dari suku-suku yang ada di Indonesia. 

Dalam tulisan ini, saya mengulas tentang sejarah senjata keris di suku Dayak Ma'anyan. Atau dalam bahasa Dayak Ma'anyan disebut KARIS.

Apa itu senjata Keris?

Seperti halnya pisau dan pedang, keris juga merupakan senjata tajam. Serta, keris lebih identik dengan budaya Indonesia.

Bentuk keris sangat khas sehingga mudah dibedakan dengan senjata tajam yang lain. Bagian ujung keris lancip dan tajam, semakin ke arah pangkal semakin lebar. Bagian pinggirnya biasanya berkelok-kelok dan memiliki serat-serat logam cerah.

Adapun Fungsi Keris Pada zaman dulu, keris digunakan sebagai senjata untuk berperang.

Untuk tesis sementara saya, adanya senjata keris ini di dalam suku Dayak Ma'anyan, pada awal nya di pengaruhi oleh kerajaan Majapahit.
Ketika kerajaan Majapahit menghancurkan kerajaan Nansarunai, kerajaan Bangsa Ma'anyan ini tahun 1358, kerajaan Majapahit memberikan pengaruh besar salah satunya senjata yang selalu digunakan oleh para bangsawan kerajaan Majapahit serta para prajurit kerajaan Majapahit yaitu senjata keris.

Senjata Keris kemudian menjadi senjata yang cukup disegani di seantero tanah Bangsa Ma'anyan, maka mulailah para ksatria bangsa Ma'anyan ini berkontekstualisasi dengan sesuatu yang baru tadi, yaitu mempersenjatai diri mereka dengan senjata Keris.

Di dalam sejarah kahiyangan bangsa Ma'anyan, ada dua pangundraun atau dalam sejarah Ma'anyan yang ada di kalangan Ma'anyan Paju EPAT, Ma'anyan Paju EPAT memberi gelar kepada kedua ksyatria ini dengan gelar Anak Nanyu Rueh, hal ini karena keberhasilan mereka merebut kembali harta berharga kerajaan Nansarunai yang dibawa kerajaan Majapahit. Mereka adalah :
1. JARANG bergelar Damung Lamuara Ratu Guha Nulun, dan

2. IDUNG

Kedua ksatria bangsa Ma'anyan, menggunakan senjata keris untuk menyerang kerajaan Majapahit serta merebut kembali harta yang paling berharga dari kerajaan Nansarunai.

Adapun senjata keris yang di miliki oleh dua pangundraun atau anak nanyu rueh ini adalah :

1. Keris Jarang

Karis bakukanyar wasi Jawa ngudiakan kaleh, Karis bakukanyar wasi Jawa ngudiakan runsa. Kaulu taring ngulah tumpuk sini nanyu bangkit Bakir. Lunan layuh panyampur Ulin kayu ngilui berang. Unre kasuma Abang kala unru buan rayu, unre kasimura kuning kala Muntai tingka raan langit, wuwar warung anri ganya Amas, nganue guleng anri Luwuk nanyu, babat anri tamalu kuning, jala unru uran kui.

2. Keris Idung

Karis Baning ilap bajak ringka katinawung, Karis babaning ilap bajak ringka kui mana. Kaulu taring suwing sunsuwiring, iyuh nikep mati balung lalum balangahan uwa nimpar Pampang. Iyuh nikep matibalung mahal balangahan uwa karing kekeh.

Tulu nanyu ada tapi umu, takut umu inudian siung, puji lungai ada bangat Iwa, takut Iwa ingekehan jue. Tulu nanyu ada inyaliah punsi inyaleke putang lasi, Amun tulu nanyu nunturungan manyuh puji lungai Ina ngatik neuh.

Amun tulu nanyu ma tulung unru, sieto tutup jadi malum tangah wuwung langit janang sirum lintu. Amun saing nadap tanyung Jawa, kariap dingin mantir tanyung Jawa kagaring gampai kanuh pilayaran. Yiru pinuluen Karis damung ilap nyilu pamujien sarung munyan Patis payung anrau.

Dengan bantuan dari senjata keris mereka yang sakti itu, Sehingga kedua ksatria ini mampu membawa kembali harta milik kerajaan Nansarunai itu dari kerajaan Majapahit, dan kembali selamat tanpa kurang satu apapun.

Dengan berhasilnya dua pangundraun atau anak nanyu rueh ini, sehingga mereka beserta masyarakat bangsa Ma'anyan dapat melaksanakan upacara Ijambe pada seluruh Datu dan Dara yang tewas ketika peperangan kerajaan Nansarunai melawan kerajaan Majapahit.

Pelaksanaan upacara Ijambe itupun dapat dilaksanakan seperti saat Datu dan Dara melaksanakan upacara Ijambe kepada leluhur bangsa Ma'anyan yang bernama Datu Burungan di tane sarunai taliku ngamang talam. 
Di dalam pelaksanan upacara Ijambe ini, ada sesuatu yang baru. Salah satunya yaitu hadirnya Senjata Keris, senjata keris digunakan pada hari kesembilan atau nampatei.

ketika pelaksanakan upacara Ijambe kepada Datu dan Dara yang dilaksanakan oleh 11 pangundraun dan seluruh bangsa Ma'anyan, keadaan menjadi berubah ketika kedatangan seorang nenek tua renta, nenek tua renta ini bernama  etoh kemudian dikenal selaku nini punyut atau itak rokok, beliau adalah leluhur bangsa Ma'anyan dimasa lampau anak dari dua sosok penguasa alam atas dan alam bawah, ibunya adalah putri dari kahyangan yang bernama SALAWANG GANTUNG, yang berasal dari nenek moyang bangsa Ma'anyan yang suci bersih dan yang berilmu pengetahuan dan telah menjelma menjadi DEWA yang dalam bahasa Dayak Ma'anyan NANYU SANIANG GURU KALIUNSEN, mereka tinggal dilangit, bersama dengan yang maha kuasa yang bernama TUHAN NGUASA, ALAHTALA NGABARIAT TALA MANA, TUAH UKAT dan ayahnya bernama UNGKUP BATU yang berasal dari alam bawah atau SORGA bangsa Ma'anyan, Ungkup Batu berasal dari nenek moyang bangsa Ma'anyan yang telah pergi tatau matei, yang berada di surga atau tumpuk adiau (negeri Roh), sorga atau tumpuk adiau (negeri Roh) itu menurut kepercayaan bangsa Ma'anyan adalah sebuah kerajaan, yang di pimpin oleh seorang raja bernama Datu Tujung Punu Gamahari Danrahulu, dan di sorga Ungkup batu bernama GINSILIU KAKINANDANG SARUGAAN. oleh karena itulah,  oleh seluruh bangsa Ma'anyan, nenek tua renta itu sangat dihormati dan sosok yang maha sakti mandraguna. oleh nenek tua renta ini dipanggillah dua pangundraun tadi agar mereka membalas dendam atas kematian Datu (maleh jake) dan kematian Dara (maleh sangkin). Dua pangundraun ini disuruh oleh nenek tua renta itu untuk berlatih berperang ke Madagaskar. setelah pesan yang nenek tua renta itu sampaikan ddapat dimengerti oleh dua pangundraun, nenek tua renta itu akhirnya menghilang begitu saja, dengan suara sayup-sayup terdengar, nenek tua renta itu berkata " aku ada dibalik perjuangan kalian semua" 

para tetua, seluruh pangundraun dan para patih akhirnya mengumpulkan pemuda yang kuat sekitar 500 orang dengan 5 buah perahu. mereka pun berangkat menuju madagaskar untuk berlatih perang dan hanya dua pangundraun yang berangkat, dan 9 pangundraun ditugaskan untuk menjaga bangsa Ma'anyan yang tinggal berada di bekas kerajaan Nansarunai yang sudah hancur yang kemudiaan dibangun oleh kerajaan majapahit disitu sebuah armada serta basis kekuatan militer kerajaan majapahit dan dinamakan tanjung negara.

sekembali dua pangundraun beserta 500 pemuda yang sudah terlatih berperang dari madagaskar  beserta datangnya bala bantuan saudara bangsa Ma'anyan dari madagaskar (dalam peperangan ini akhirnya 11 pangundraun bertemu dengan 1 pangundraun yang selama ini mereka cari, yaitu patih raja muda pani'ng, dengan  berkumpulnya 12 pangundraun ini sempurnalah kekuatan dari Datu dan Dara). persiapan untuk membalas dendam pun sudah matang dan siap untuk berperang. titik penyerangan yang di tuju yaitu tanjung negara dengan harapaan dapat menghancurkan kekuatan lawan lewat runtuhnya basis kekuatan militer kerajaan majapahit.

tesis sementara saya, dalam peperangan ini senjata keris menjadi senjata pamungkas yang dipakai oleh kedua belah pihak yaitu bangsa Ma'anyan dan prajurit kerajaan majapahit.

begitu lah peran senjata keris di dalam suku dayak Ma'anyan, yang kemudian dalam kahiyangan selalu dituturkan oleh para wadian, secara khusus di tuturkan ketika pelaksanaan upacara Ijambe. 

setiap pelaksaan upacara Ijambe sampai saat ini senjata keris menjadi senjata yang tidak bisa ditinggalkan, sama seperti saat upacara Ijambe yang dilaksanakan para pangundraun kepada Datu dan Dara dimasa  lalu. secara khusus senjata keris dipakai ketika hari yang kesembilan yaitu nampatei. senjata keris juga menjadi senjata bangsa ma'anyan sampai kapanpun, khususnya Ma'anyan Paju EPAT dalam pelaksanaan upacara Ijambe.





Ditulis oleh : Wahyu Hadrianto Dohong.

Sabtu, 24 Agustus 2019

PAJU EPAT, KAMPUNG SEPULUH DAN BANUA LIMA


Setelah kekalahan kerajaan Nansarunai pada tahun 1358, ke dua belas pangunraun bersama-sama seluruh masyarakat Nansarunai yang masih hidup dengan dibantu oleh saudara orang Ma’anyan dari Madagaskar bertekad membalas kekalahan kerajaan Nansarunai. Target penyerangan tersebut adalah Armada Majapahit di daerah Tanjung Negara tahun 1362. Dalam serangan balasan tersebut, berakhir dengan kekalahan pihak Majapahit dan menewaskan banyak prajurit Majapahit beserta Laksamana Nala selaku panglima perang Majapahit.
Akibat dari kekalahan pihak Majapahit yang menewaskan panglima perang Majapahit di wilayah Tanjung Negara, dengan cepat Patih Gajah Mada mengirim Mpu Jatmika ke tanah Ma'anyan yang bertugas untuk memperhatikan pergerakkan masyarakat Ma’anyan dan menjaga keutuhan Kerajaan Majapahit di tanah Ma'anyan. Untuk memudahkan tugas tersebut, Mpu Jatmika mendirikan dua kerajaan baru dibekas Kerajaan Nansarunai yang di beri nama Kerajaan Daha dan Kerajaan Kuripan, sebagai bagian kerajaan Majapahit di tanah Ma'anyan.
Pengaruh dari kedua kerajaan baru ini membagi masyarakat Ma’anyan kedalam tiga golongan secara khusus dari segi agama dan bahasa sebagai berikut :
1.   Golongan masyarakat yang memeluk agama Hindu Syiwa sejak tahun 1358, dan berpindah memakai bahas Melayu.
2. Golongan masyarakat yang juga memeluk agama Hindu Syiwa, tetapi masih tetap bertahan mempergunakan bahasa Ma’anyan  kuno.
3. Golongan masyarakat yang masih menganut kepercayaan terhadap roh Nenek Moyang dan tetap memakai bahasa pengantar dalam bahasa Ma’anyan atau bahasa Nansarunai. Dua kerajaan tersebut tidak mendapatkan gangguan dari masyarakat Ma’anyan, secara khusus dari golongan masyarakat ketiga ini.
Selanjutnya, Mpu Jatmika mendirikan lagi sebuah kerajaan di bekas armada Majapahit di tanjung negara yaitu Negara Dipa. Ketiga kerajaan ini membawa sebuah agama baru yaitu agama Hindu Syiwa dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan. Tetapi masuknya agama Hindu Syiwa tersebut tidak mengubah bentuk balai adat Ijambe masyarakat Dayak Ma’anyan.
Semakin hari pengaruh ketiga kerajaan Hindu Syiwa tersebut semakin luas sehingga membuat bangsa Ma’anyan terpojok ke daerah bangi sampa tulen dan membangun sebuah kampung baru di wilayah Bangi Sampa Tulen, yang terkenal dengan sebutan NANSARUNAI WAO atau Waruga Lewu Hante. Pembangunan di daerah Bangi Sampa Tulen ini diharapkan dapat menciptakan keadaan yang lebih damai serta sejahtera bagi masyarakat Ma’anyan. Namun karena terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen, masyarakat Ma’anyan kembali kacau balau. Kemegahan dari NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen harus musnah di lalap api sekitar tahun 1389 untuk selama-lamanya.
Setelah NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen terbakar habis pada tahun 1389, berkumpulah para Patih dan Uria untuk mengambil langkah selanjutnya, agar masyarakat Ma’anyan yang selamat dapat memperolah kehidupan yang damai, aman dan sejahtera. Dimulailah perjalanan pengembaraan dari Gunung Rumung, Banua Lawas, Bakumpai Lawas, Wamman Sabuku, Labuhan Amas, Sandi Agung, Sandi Laras, Kupang Sunnung, Danau Kien, setelah itu ke Baras Ruku dan hingga ke Danau Halaman.
Di kampung Danau Halaman ini, para Uria dan Patis dikumpulkan oleh PANGUNDRAUN PITU dibawah nasehat seorang tokoh Bangsa Ma'anyan serta kepala adat bangsa Ma'anyan yaitu Patis Mawonto. Kepada para Uria dengan dibantu oleh para Patis diperintahkan untuk membawa hukum adat tentang kehidupan dan hukum adat tentang kematian yang sudah disusun secara lengkap di Nansarunai. Mereka diperintahkan untuk menata kehidupan baru di wilayah masing-masing berdasarkan hukum adat Nansarunai. Pada periode ini terjadilah perpisahan besar  dalam Masyarakat Ma’anyan yang terkenal dengan sebutan Uria Pitu dan Patis Epat Polo (Uria Tujuh dan Patis Empatpuluh). Setiap Uria pergi ketempat baru dengan membawa unsur hukum adat Nansarunai :
1.   Uria Nata atau Uria Napulangit (beragama Islam) ke Telang dan Siong.
2.   Uria Ganting  ke Murutuwu.
3.   Uria Mawuyung ke Balawa.
4.   Uria Puneh ke Taboyan, Lawangan Bawo.
5.   Uria Pulang Giwa ke Kahayan dan Kapuas.
6.   Uria Rantau atau Retan ke Sungai Karau.
7.   Uria Putera ke Dusun Sahimin.
Sesudah perpisahan besar para Uria dan Patis, lahir lagi dua uria di wilayah Bangi Sampa Tulen, yaitu :
1.   Uria Biring membawa hukum adat ke daerah Lasi Muda/Dayu
2.   Uria Renn’a membawa hukum adat ke daerah Patai Suku Hawa.
Perpisahan besar ini membagi masyarakat Ma’anyan ke dalam tiga perkampungan utama dengan tetap menggunakan hukum adat Nansarunai, yaitu :
1.     Kelompok pertama menamakan kelompok mereka Banua Lima yang sebenarnya adalah tumpuk dime. Setelah masuknya pengaruh melayu, wilayah tumpuk dime berubah cara penyebutannya menjadi banua lima yang dihuni oleh para politisi yang dianggap mampu bernegosiasi. Banua lima terdiri dari Jangkung, Hadiwalang, Uwai, Pulau Padang, Kayunringan.
2.    Kelompok ke dua menamakan kelompok mereka Kampung Sepuluh yang sebenarnya adalah tumpuk sepuluh. Perubahan kata ini dipengaruhi oleh lafal melayu dari kata tumpuk yang sama artinya dengan kampung sehingga sebutan yang lebih dikenal dengan sebutan kampung sepuluh yang dihuni oleh para prajurit dan kasatria kerajaan nansarunai sebagai benteng . Posisi kampung sepuluh melengkung seperti setengah lingkaran membentuk seperti benteng  untuk menjaga paju epat serta siap berperang ketika sewaktu-waktu musuh menyerang. Kampung sepuluh terdiri dari Murung Kliwen, Pimpingen, Mungsit, Harara, Patai, Lasi Muda / Dayu, Sarabon, Pagar, Tangkan, Bangi Sampa Tulen.
3.  Kelompok ketiga menamakan kelompok mereka Paju Epat juga dipengaruhi oleh lafal melayu jika diterjemahkan sebutan paju adalah kelompok, sebutan epat  adalah empat. Jadi, paju epat berarti kelompok empat yang dihuni oleh para tokoh-tokoh, para pejabat dan keturunan dari Raja-Raja kerajaan Nansarunai. Paju epat terdiri dari Telang, Siong, Balawa, Murutuwu. Kelompok ini menghendaki upacara tentang duka cita adalah ijambe
Maksud PANGUNDRAUN PITU dengan dibantu para Uria dan para Patis tidak meneruskan lagi bentuk kerajaan karena takut terjadi lagi peperangan dengan kerajaan lain, secara khusus dengan pihak majapahit yang belum tentu dimenangkan oleh pihak bangsa Ma'anyan, sedangkan pertolongan tidak bisa diharapkan dari orang-orang maanyan madagaskar seperti saat perang periode kedua tahun 1362. Oleh sebab itu kepada seluruh masyarakat bangsa Ma’anyan dipersilahkan mencari tempat yang baru sesuai dengan pembagian wilayah-wilayah baru yang sudah ditentukan oleh para Uria dan Patis. Pembagian wilayah-wilayah baru sebagai tempat perkampungan bangsa Ma’anyan ini yang dikenal dengan nama Banua Lima,  Kampung  Sepuluh  dan Paju Epat. Terbaginya tiga wilayah dari perkampungan Dayak Ma’anyan yang baru ini, sebenanya adalah sebuah taktik perang serta strategi penyelamatan untuk bangsa Ma'anyan
1. Banua Lima adalah masyarakat Dayak Ma’anyan yang dianggap mampu berpolitik dan orang-orang pintar. Banua lima yang dihuni oleh para politisi dikarenakan menurut perhitungan PANGUDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua bahwa musuh kemungkinan akan menyerang melalui banua lima terlebih dahulu, karena wilayah banua lima secara langsung berdampingan dengan tiga kerajaan besar yaitu, negara dipa, kerajaan daha dan kerajaan kuripan yang merupakan bagian kerajaan majapahit di tanah Ma'anyan dibawah kepemimpinan mpu jatmika. 
2. ketika musuh datang menyerang Banua Lima, Banua Lima bertugas untuk bernegosiasi secara  politik untuk menahan kekuatan musuh. Namun, ketika Banua Lima sudah tidak mampu lagi menahan kekuatan lawan dengan cara berpolitik, maka musuh langsung akan berhadapan dengan sepuluh kampung yang dihuni oleh para prajurit dan kasatria Nansarunai yang sakti dan siap bertempur. 
3. ketika Kampung Sepuluh dan Banua Lima sudah tidak mampu lagi menahan serangan dari musuh, tugas Paju Epat sebagai penyelamat, dengan membawa masyarakat bangsa Ma’anyan yang masih hidup untuk melarikan diri melalui sungai telang menuju  sungai Barito. Karena itu lah wilayah Paju Epat sangat berdekatan dengan sungai barito.
Taktik perang serta strategi penyelamatan yang telah direncanakan oleh PANGUNDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua agar masyarakat bangsa Ma'anyan yang sudah kehabisan segala-galanya oleh dampak perang dalam beberapa periode yang menghancurkan segenap kehidupan masyarakat bangsa Ma'anyan  di Nansarunai serta memaksa mereka tersudut kepedalaman agar masyarakat Ma’anyan dapat memperolah kehidupan yang damai, aman dan sejahtera . Karena, hasil perundingan PANGUDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua di kampung Danau Halaman, menyatakan bahwa masyarakat bangsa Ma;anyan sudah terdesak dan tidak ada lagi tempat pelarian, sekarang hanya ada dua pilihan, yaitu :
1.Berperang sampai tetes darah penghabisan, atau
2. Menyelamatkan diri kearah yang tidak diketahui rimbanya. 
Dengan satu tekad, keturunan Nansaruani harus tetap hidup serta kejayaannya tidak boleh hilang untuk selama-lamanya. Inilah yang terjadi dalam sejarah Dayak Maanyan, perasaan saling menjaga, melindungi dan persaudaraan menjadi dasar utama dalam kehidupan bersama. Harapan agar masyarakat Ma’anyan dapat memperoleh kehidupan yang damai, aman dan sejahtera dapat dijaga sampai sekarang banua lima, kampung sepuluh dan paju epat tetap bertahan sebagai tiga wilayah besar masyarakat maanyan. Kerajaan nansarunai memang sudah hancur, hilang ditelan jaman. Kerajaan Nansarunai sekarang hanya tinggal sejarah yang kadang selalu orang pertanyakan, apakah memang benar kerajaan Nansarunai itu ada? Jawaban dari pertanyaan ini yang bisa saya berikan ”Nansarunai masih ada, tetap berdiri kokoh bersama kejayaannya di dalam setiap hati dan seluruh kehidupan masyarakat maanyan dimanapun berada".

Bukti sekarang bahwa sejarah ini benar adanya, dapat kita lihat melalui cara berbicaranya atau logat bicara mereka yang berbeda, yaitu :
1. banua lima adalah kelompok para politisi terlihat dari tata cara bahasa kelompok ini sangat halus.
2. kampung sepuluh adalah kelompok para prajurit terlihat dari tata bahasanya agak kasar.
3. paju epat adalah kelompok yang dihuni oleh para tokoh-tokoh, para pejabat dan keturunan dari Raja-Raja kerajaan Nansarunai terlihat dari tata bahasanya yang halus, tegas dan berwibawa yang masih memperlihatkan tata cara tegur sapa para pejabat kerajaan.

keterangan gambar :
1. Berwarna merah adalah PAJU EPAT
2. Berwarna kuning adalah KAMPUNG SAPULUH
3. Berwarna hijau adalah BANUA LIMA
4. Tanda panah berwarna merah adalah perkiraaan arah musuh akan datang menyerang bangsa Ma'anyan, karena di daerah itu adalah daerah strategis berdekatan dengan tiga kerajaan besar yaitu KERAJAAN DAHA, KERAJAAN KURIPAN DAN NEGARA DIPA.
5. Tanda panah berwarna hijau adalah arah yang merupakan tempat penyelamatan bangsa Ma'anyan melalui sungai Telang menuju sungai Barito jika terjadi Penyerangan / perang dengan tiga kerajaan besar yaitu KERAJAAN DAHA, KERAJAAN KURIPAN DAN NEGARA DIPA. arah itu menunjukan sungai Barito sebagai tempat penyelamatan.

Disusun Oleh : Wahyu Hadrianto, S.Th







NAMA WAKTU DALAM SUKU DAYAK MA'ANYAN

Di dalam suku Dayak Ma'anyan, Pengucapan kata salam yang ditujukan berhubungan dengan waktu pada satu hari dan satu malam, sebenarnya tidak hanya eksklusif atau terbatas pada tiga pengucapan salam yang biasa diucapkan oleh orang Ma'anyan masa kini, yaitu :
1. Selamat kaiyat

2. Selamat penah andrau
3. Selamat kamalem


Tetapi ada 19 pengucapan kata salam yang ditunjukkan untuk menunjukkan waktu. 
Pengucapan salam yang ditujukan kepada waktu tertentu itu juga, menunjukkan nama dari setiap waktu yang bergerak dalam satu hari satu malam.
Bangsa Dayak Ma'anyan kuno menggunakan pertanda alam untuk menentukan waktu, adapun nama-nama mengenai waktu, yaitu :

1. Kaiyat
Pukul 06.00 - 07.00 WIB
2. Mateandrau mam'mai tum'mang sunruk
pukul 07.00 - 08.30 WIB
3. Tangah naik
Pukul 08.30-10.00 WIB
4. Mam'mai sa'eto
Pukul 10.00 - 11.30 WIB
5. Sa'eto
Pukul 11.30-12.00 WIB
6. Luah sa'eto (ki'le)
Pukul 12.00-13.30 WIB
7. Mateandrau mihantak
Pukul 13.30-15.30 WIB
8. Mateandrau hang papuru kayu
Pukul 15.30-16.30 WIB
9. Mateandrau hang papuru pu'ai
Pukul 16.30-17.30 WIB
10. Kariwe
Pukul 17.30-18.00 WIB
11. Sirum
Pukul 18.00-18.30 WIB
12. Tukang iyeng
Pukul 18.30-19.00 WIB
13. Kamalem
Pukul 19.00-21.00 WIB
14. Nyungkat penah malem
Pukul 21.00-23.30 WIB
15. Penah malem
Pukul 23.30-24.00 WIB
16. Luah penah malem
Pukul 24.00-02.00 WIB
17. Dami hari han'te (Kokok ayam jago yang pertama)
Pukul 02.00-04.00 WIB
18. Dami hari rumis ( Kokok ayam jago yang kedua)
Pukul 04.00-05.30 WIB
19. Singkat ra'ai
Pukul 05.30-06.00 WIB
Jadi, antara waktu yang satu dengan waktu yang lain itu tidak sama pengucapan nya. Mereka berbeda-beda pengucapan, tergantung jam berapa itu.
Itulah salah satu kehebatan nenek moyang suku Dayak Ma'anyan ini, sebelum dibawanya jam untuk menunjukkan waktu oleh para pendatang, bangsa Ma'anyan sudah terlebih dulu punya jam untuk menunjukkan waktu dengan cara bangsa Ma'anyan itu sendiri.
Semoga warisan berharga dari nenek moyang bangsa Ma'anyan ini dapat menjadi kebanggaan bangsa Ma'anyan itu sendiri sebagai jati diri dan harga diri bangsa Ma'anyan.