Kamis, 12 September 2019

BAJU ZIRAH BANGSA MA'ANYAN

Bangsa Ma'anyan juga memiliki baju perang atau baju zirah, walapun sampai saat ini masih menjadi misteri dan tidak pernah ditampilkan ke khalayak umum.
Kenapa?
baju perang atau baju zirah ini hanya akan dipakai ketika akan berperang, karena ketika dipakai, maka ruh yang melindungi segenap bangsa Ma'anyan ini akan datang bersama dengan lengkap nya pakaian ini dipakai oleh bangsa Ma'anyan.
Seiring lengkap nya pakaian ini dipakai, maka lengkap lah juga seorang menjadi ksatria bangsa Ma'anyan, prajurit bangsa Ma'anyan yang sempurna, serta apa yang dinamakan ANAK NANYU.
Begini awal mula sejarah baju perang atau baju zirah bangsa Ma'anyan ini :
Ketika pangeran Idung kembali ke bekas kerajaan Nansarunai, setelah berlatih perang di Madagaskar, semangat menggebu-gebu itu memaksanya untuk berlatih keras, namun apalah daya, dia tidak memiliki kesaktian yang maha dahsyat itu. Yaitu, Kekuatan seorang dewa yang mampu menggempur musuh. Rasa sedih yang membayang-bayangi perjuangan nya, serta menjadi mimpi buruk yang tidak berkesudahan, hal itu pula yang yang membuat pangeran Idung merasakan ketakutan yang luar biasa, karena jika kalau perjuangan bangsa Ma'anyan untuk membalas dendam itu berakhir dengan kekalahan, maka akan menyebabkan musnahnya bangsa Ma'anyan untuk selama-lamanya, atau terjadi Genosida terhadap bangsa Ma'anyan (Genosida atau genosid (Bahasa Inggris: genocide) adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan atau (membuat punah) bangsa tersebut)
Ketakutan itu akhirnya dijawab oleh yang maha kuasa, ketika pangeran Idung tertidur, ia bermimpi bertemu seorang laki-laki yang gagah perkasa dengan warna kulit merah. Laki-laki itu datang dengan pakaian yang aneh, serta laki-laki itu menunjukkan pakaian yang ia gunakan kepada pangeran Idung, yaitu :
1. Bercelana pidann'ang, ialah jenis pakaian yang menutup kaki sampai ke batok tulang kaki.
2. Berbaju kapo ialah baju tanpa lengan
3. Menggunakan cawat kain sindai
4. Berlawung
5. Bersuntingkan daun anjulang atau bayam Istambul serta daun kamma't dengan sebilah taji atau pisau kecil yang diikat pada benang lawai dibagikan belakang kepala.
Laki-laki gagah perkasa itu berkata kalau pangeran Idung berpakaian yang ia pakai, maka ia mungkin bisa membantu memberikan semangat dalam peperangan untuk membalaskan dendam atas kematian Datu dan Dara.
Inilah riwayat dari baju perang atau baju zirah bangsa Ma'anyan kuno dimasa lalu. baju perang atau baju zirah bangsa Ma'anyan yang sudah sangat sulit kita temukan, bahkan sudah hilang.

ARTI BUMUH BUNGKUT

Sebuah ikatan atau hubungan keluarga dalam suku Dayak Ma'anyan disebut dengan BUMUH BUNGKUT
BUMUH BUNGKUT ini terdiri dari dua kata yaitu BUMUH DAN BUNGKUT.
1. pengertian BUMUH adalah suatu kelompok keluarga sampai generasi ke - 3 atau dalam bahasa Dayak Ma'anyan disebut santeluen. Hal ini juga berkaitan dengan hukum dalam perkawinan suku Dayak Ma'anyan, dimana dalam perkawinan suku Dayak Ma'anyan tidak diperbolehkan kawin jika masih santeluen, karena hal tersebut masih ada ikatan atau hubungan keluarga. Perkawinan diperbolehkan apabila sudah lewat dari generasi ke - 3 atau santeluen yaitu generasi ke - 4, generasi ke - 5 dan seterusnya. Apabila terjadi perkawinan yang masih dalam ikatan atau hubungan keluarga, hal tersebut bagi bangsa Ma'anyan dianggap tabu yang dalam bahasa Dayak Ma'anyan disebut padie (Tabu, pantangan, atau pantang larang adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat.)
2. BUNGKUT masih dalam keterikatan keluarga, tetapi masih terikat oleh hak milik yang sifatnya bersama. Contoh nya seperti kepemilikan bersama sebuah hepung pulau atau kebun buah-buahan.

Selasa, 03 September 2019

SENJATA KERIS SUKU DAYAK MA'ANYAN

Senjata keris (Dalam bahasa Dayak Ma'anyan disebut KARIS) di dalam suku Dayak Ma'anyan
Kita sering sekali mendengar bahkan melihat senjata keris, senjata keris itu sendiri menjadi senjata tradisional dari suku-suku yang ada di Indonesia. 

Dalam tulisan ini, saya mengulas tentang sejarah senjata keris di suku Dayak Ma'anyan. Atau dalam bahasa Dayak Ma'anyan disebut KARIS.

Apa itu senjata Keris?

Seperti halnya pisau dan pedang, keris juga merupakan senjata tajam. Serta, keris lebih identik dengan budaya Indonesia.

Bentuk keris sangat khas sehingga mudah dibedakan dengan senjata tajam yang lain. Bagian ujung keris lancip dan tajam, semakin ke arah pangkal semakin lebar. Bagian pinggirnya biasanya berkelok-kelok dan memiliki serat-serat logam cerah.

Adapun Fungsi Keris Pada zaman dulu, keris digunakan sebagai senjata untuk berperang.

Untuk tesis sementara saya, adanya senjata keris ini di dalam suku Dayak Ma'anyan, pada awal nya di pengaruhi oleh kerajaan Majapahit.
Ketika kerajaan Majapahit menghancurkan kerajaan Nansarunai, kerajaan Bangsa Ma'anyan ini tahun 1358, kerajaan Majapahit memberikan pengaruh besar salah satunya senjata yang selalu digunakan oleh para bangsawan kerajaan Majapahit serta para prajurit kerajaan Majapahit yaitu senjata keris.

Senjata Keris kemudian menjadi senjata yang cukup disegani di seantero tanah Bangsa Ma'anyan, maka mulailah para ksatria bangsa Ma'anyan ini berkontekstualisasi dengan sesuatu yang baru tadi, yaitu mempersenjatai diri mereka dengan senjata Keris.

Di dalam sejarah kahiyangan bangsa Ma'anyan, ada dua pangundraun atau dalam sejarah Ma'anyan yang ada di kalangan Ma'anyan Paju EPAT, Ma'anyan Paju EPAT memberi gelar kepada kedua ksyatria ini dengan gelar Anak Nanyu Rueh, hal ini karena keberhasilan mereka merebut kembali harta berharga kerajaan Nansarunai yang dibawa kerajaan Majapahit. Mereka adalah :
1. JARANG bergelar Damung Lamuara Ratu Guha Nulun, dan

2. IDUNG

Kedua ksatria bangsa Ma'anyan, menggunakan senjata keris untuk menyerang kerajaan Majapahit serta merebut kembali harta yang paling berharga dari kerajaan Nansarunai.

Adapun senjata keris yang di miliki oleh dua pangundraun atau anak nanyu rueh ini adalah :

1. Keris Jarang

Karis bakukanyar wasi Jawa ngudiakan kaleh, Karis bakukanyar wasi Jawa ngudiakan runsa. Kaulu taring ngulah tumpuk sini nanyu bangkit Bakir. Lunan layuh panyampur Ulin kayu ngilui berang. Unre kasuma Abang kala unru buan rayu, unre kasimura kuning kala Muntai tingka raan langit, wuwar warung anri ganya Amas, nganue guleng anri Luwuk nanyu, babat anri tamalu kuning, jala unru uran kui.

2. Keris Idung

Karis Baning ilap bajak ringka katinawung, Karis babaning ilap bajak ringka kui mana. Kaulu taring suwing sunsuwiring, iyuh nikep mati balung lalum balangahan uwa nimpar Pampang. Iyuh nikep matibalung mahal balangahan uwa karing kekeh.

Tulu nanyu ada tapi umu, takut umu inudian siung, puji lungai ada bangat Iwa, takut Iwa ingekehan jue. Tulu nanyu ada inyaliah punsi inyaleke putang lasi, Amun tulu nanyu nunturungan manyuh puji lungai Ina ngatik neuh.

Amun tulu nanyu ma tulung unru, sieto tutup jadi malum tangah wuwung langit janang sirum lintu. Amun saing nadap tanyung Jawa, kariap dingin mantir tanyung Jawa kagaring gampai kanuh pilayaran. Yiru pinuluen Karis damung ilap nyilu pamujien sarung munyan Patis payung anrau.

Dengan bantuan dari senjata keris mereka yang sakti itu, Sehingga kedua ksatria ini mampu membawa kembali harta milik kerajaan Nansarunai itu dari kerajaan Majapahit, dan kembali selamat tanpa kurang satu apapun.

Dengan berhasilnya dua pangundraun atau anak nanyu rueh ini, sehingga mereka beserta masyarakat bangsa Ma'anyan dapat melaksanakan upacara Ijambe pada seluruh Datu dan Dara yang tewas ketika peperangan kerajaan Nansarunai melawan kerajaan Majapahit.

Pelaksanaan upacara Ijambe itupun dapat dilaksanakan seperti saat Datu dan Dara melaksanakan upacara Ijambe kepada leluhur bangsa Ma'anyan yang bernama Datu Burungan di tane sarunai taliku ngamang talam. 
Di dalam pelaksanan upacara Ijambe ini, ada sesuatu yang baru. Salah satunya yaitu hadirnya Senjata Keris, senjata keris digunakan pada hari kesembilan atau nampatei.

ketika pelaksanakan upacara Ijambe kepada Datu dan Dara yang dilaksanakan oleh 11 pangundraun dan seluruh bangsa Ma'anyan, keadaan menjadi berubah ketika kedatangan seorang nenek tua renta, nenek tua renta ini bernama  etoh kemudian dikenal selaku nini punyut atau itak rokok, beliau adalah leluhur bangsa Ma'anyan dimasa lampau anak dari dua sosok penguasa alam atas dan alam bawah, ibunya adalah putri dari kahyangan yang bernama SALAWANG GANTUNG, yang berasal dari nenek moyang bangsa Ma'anyan yang suci bersih dan yang berilmu pengetahuan dan telah menjelma menjadi DEWA yang dalam bahasa Dayak Ma'anyan NANYU SANIANG GURU KALIUNSEN, mereka tinggal dilangit, bersama dengan yang maha kuasa yang bernama TUHAN NGUASA, ALAHTALA NGABARIAT TALA MANA, TUAH UKAT dan ayahnya bernama UNGKUP BATU yang berasal dari alam bawah atau SORGA bangsa Ma'anyan, Ungkup Batu berasal dari nenek moyang bangsa Ma'anyan yang telah pergi tatau matei, yang berada di surga atau tumpuk adiau (negeri Roh), sorga atau tumpuk adiau (negeri Roh) itu menurut kepercayaan bangsa Ma'anyan adalah sebuah kerajaan, yang di pimpin oleh seorang raja bernama Datu Tujung Punu Gamahari Danrahulu, dan di sorga Ungkup batu bernama GINSILIU KAKINANDANG SARUGAAN. oleh karena itulah,  oleh seluruh bangsa Ma'anyan, nenek tua renta itu sangat dihormati dan sosok yang maha sakti mandraguna. oleh nenek tua renta ini dipanggillah dua pangundraun tadi agar mereka membalas dendam atas kematian Datu (maleh jake) dan kematian Dara (maleh sangkin). Dua pangundraun ini disuruh oleh nenek tua renta itu untuk berlatih berperang ke Madagaskar. setelah pesan yang nenek tua renta itu sampaikan ddapat dimengerti oleh dua pangundraun, nenek tua renta itu akhirnya menghilang begitu saja, dengan suara sayup-sayup terdengar, nenek tua renta itu berkata " aku ada dibalik perjuangan kalian semua" 

para tetua, seluruh pangundraun dan para patih akhirnya mengumpulkan pemuda yang kuat sekitar 500 orang dengan 5 buah perahu. mereka pun berangkat menuju madagaskar untuk berlatih perang dan hanya dua pangundraun yang berangkat, dan 9 pangundraun ditugaskan untuk menjaga bangsa Ma'anyan yang tinggal berada di bekas kerajaan Nansarunai yang sudah hancur yang kemudiaan dibangun oleh kerajaan majapahit disitu sebuah armada serta basis kekuatan militer kerajaan majapahit dan dinamakan tanjung negara.

sekembali dua pangundraun beserta 500 pemuda yang sudah terlatih berperang dari madagaskar  beserta datangnya bala bantuan saudara bangsa Ma'anyan dari madagaskar (dalam peperangan ini akhirnya 11 pangundraun bertemu dengan 1 pangundraun yang selama ini mereka cari, yaitu patih raja muda pani'ng, dengan  berkumpulnya 12 pangundraun ini sempurnalah kekuatan dari Datu dan Dara). persiapan untuk membalas dendam pun sudah matang dan siap untuk berperang. titik penyerangan yang di tuju yaitu tanjung negara dengan harapaan dapat menghancurkan kekuatan lawan lewat runtuhnya basis kekuatan militer kerajaan majapahit.

tesis sementara saya, dalam peperangan ini senjata keris menjadi senjata pamungkas yang dipakai oleh kedua belah pihak yaitu bangsa Ma'anyan dan prajurit kerajaan majapahit.

begitu lah peran senjata keris di dalam suku dayak Ma'anyan, yang kemudian dalam kahiyangan selalu dituturkan oleh para wadian, secara khusus di tuturkan ketika pelaksanaan upacara Ijambe. 

setiap pelaksaan upacara Ijambe sampai saat ini senjata keris menjadi senjata yang tidak bisa ditinggalkan, sama seperti saat upacara Ijambe yang dilaksanakan para pangundraun kepada Datu dan Dara dimasa  lalu. secara khusus senjata keris dipakai ketika hari yang kesembilan yaitu nampatei. senjata keris juga menjadi senjata bangsa ma'anyan sampai kapanpun, khususnya Ma'anyan Paju EPAT dalam pelaksanaan upacara Ijambe.





Ditulis oleh : Wahyu Hadrianto Dohong.

Sabtu, 24 Agustus 2019

PAJU EPAT, KAMPUNG SEPULUH DAN BANUA LIMA


Setelah kekalahan kerajaan Nansarunai pada tahun 1358, ke dua belas pangunraun bersama-sama seluruh masyarakat Nansarunai yang masih hidup dengan dibantu oleh saudara orang Ma’anyan dari Madagaskar bertekad membalas kekalahan kerajaan Nansarunai. Target penyerangan tersebut adalah Armada Majapahit di daerah Tanjung Negara tahun 1362. Dalam serangan balasan tersebut, berakhir dengan kekalahan pihak Majapahit dan menewaskan banyak prajurit Majapahit beserta Laksamana Nala selaku panglima perang Majapahit.
Akibat dari kekalahan pihak Majapahit yang menewaskan panglima perang Majapahit di wilayah Tanjung Negara, dengan cepat Patih Gajah Mada mengirim Mpu Jatmika ke tanah Ma'anyan yang bertugas untuk memperhatikan pergerakkan masyarakat Ma’anyan dan menjaga keutuhan Kerajaan Majapahit di tanah Ma'anyan. Untuk memudahkan tugas tersebut, Mpu Jatmika mendirikan dua kerajaan baru dibekas Kerajaan Nansarunai yang di beri nama Kerajaan Daha dan Kerajaan Kuripan, sebagai bagian kerajaan Majapahit di tanah Ma'anyan.
Pengaruh dari kedua kerajaan baru ini membagi masyarakat Ma’anyan kedalam tiga golongan secara khusus dari segi agama dan bahasa sebagai berikut :
1.   Golongan masyarakat yang memeluk agama Hindu Syiwa sejak tahun 1358, dan berpindah memakai bahas Melayu.
2. Golongan masyarakat yang juga memeluk agama Hindu Syiwa, tetapi masih tetap bertahan mempergunakan bahasa Ma’anyan  kuno.
3. Golongan masyarakat yang masih menganut kepercayaan terhadap roh Nenek Moyang dan tetap memakai bahasa pengantar dalam bahasa Ma’anyan atau bahasa Nansarunai. Dua kerajaan tersebut tidak mendapatkan gangguan dari masyarakat Ma’anyan, secara khusus dari golongan masyarakat ketiga ini.
Selanjutnya, Mpu Jatmika mendirikan lagi sebuah kerajaan di bekas armada Majapahit di tanjung negara yaitu Negara Dipa. Ketiga kerajaan ini membawa sebuah agama baru yaitu agama Hindu Syiwa dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan. Tetapi masuknya agama Hindu Syiwa tersebut tidak mengubah bentuk balai adat Ijambe masyarakat Dayak Ma’anyan.
Semakin hari pengaruh ketiga kerajaan Hindu Syiwa tersebut semakin luas sehingga membuat bangsa Ma’anyan terpojok ke daerah bangi sampa tulen dan membangun sebuah kampung baru di wilayah Bangi Sampa Tulen, yang terkenal dengan sebutan NANSARUNAI WAO atau Waruga Lewu Hante. Pembangunan di daerah Bangi Sampa Tulen ini diharapkan dapat menciptakan keadaan yang lebih damai serta sejahtera bagi masyarakat Ma’anyan. Namun karena terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen, masyarakat Ma’anyan kembali kacau balau. Kemegahan dari NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen harus musnah di lalap api sekitar tahun 1389 untuk selama-lamanya.
Setelah NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen terbakar habis pada tahun 1389, berkumpulah para Patih dan Uria untuk mengambil langkah selanjutnya, agar masyarakat Ma’anyan yang selamat dapat memperolah kehidupan yang damai, aman dan sejahtera. Dimulailah perjalanan pengembaraan dari Gunung Rumung, Banua Lawas, Bakumpai Lawas, Wamman Sabuku, Labuhan Amas, Sandi Agung, Sandi Laras, Kupang Sunnung, Danau Kien, setelah itu ke Baras Ruku dan hingga ke Danau Halaman.
Di kampung Danau Halaman ini, para Uria dan Patis dikumpulkan oleh PANGUNDRAUN PITU dibawah nasehat seorang tokoh Bangsa Ma'anyan serta kepala adat bangsa Ma'anyan yaitu Patis Mawonto. Kepada para Uria dengan dibantu oleh para Patis diperintahkan untuk membawa hukum adat tentang kehidupan dan hukum adat tentang kematian yang sudah disusun secara lengkap di Nansarunai. Mereka diperintahkan untuk menata kehidupan baru di wilayah masing-masing berdasarkan hukum adat Nansarunai. Pada periode ini terjadilah perpisahan besar  dalam Masyarakat Ma’anyan yang terkenal dengan sebutan Uria Pitu dan Patis Epat Polo (Uria Tujuh dan Patis Empatpuluh). Setiap Uria pergi ketempat baru dengan membawa unsur hukum adat Nansarunai :
1.   Uria Nata atau Uria Napulangit (beragama Islam) ke Telang dan Siong.
2.   Uria Ganting  ke Murutuwu.
3.   Uria Mawuyung ke Balawa.
4.   Uria Puneh ke Taboyan, Lawangan Bawo.
5.   Uria Pulang Giwa ke Kahayan dan Kapuas.
6.   Uria Rantau atau Retan ke Sungai Karau.
7.   Uria Putera ke Dusun Sahimin.
Sesudah perpisahan besar para Uria dan Patis, lahir lagi dua uria di wilayah Bangi Sampa Tulen, yaitu :
1.   Uria Biring membawa hukum adat ke daerah Lasi Muda/Dayu
2.   Uria Renn’a membawa hukum adat ke daerah Patai Suku Hawa.
Perpisahan besar ini membagi masyarakat Ma’anyan ke dalam tiga perkampungan utama dengan tetap menggunakan hukum adat Nansarunai, yaitu :
1.     Kelompok pertama menamakan kelompok mereka Banua Lima yang sebenarnya adalah tumpuk dime. Setelah masuknya pengaruh melayu, wilayah tumpuk dime berubah cara penyebutannya menjadi banua lima yang dihuni oleh para politisi yang dianggap mampu bernegosiasi. Banua lima terdiri dari Jangkung, Hadiwalang, Uwai, Pulau Padang, Kayunringan.
2.    Kelompok ke dua menamakan kelompok mereka Kampung Sepuluh yang sebenarnya adalah tumpuk sepuluh. Perubahan kata ini dipengaruhi oleh lafal melayu dari kata tumpuk yang sama artinya dengan kampung sehingga sebutan yang lebih dikenal dengan sebutan kampung sepuluh yang dihuni oleh para prajurit dan kasatria kerajaan nansarunai sebagai benteng . Posisi kampung sepuluh melengkung seperti setengah lingkaran membentuk seperti benteng  untuk menjaga paju epat serta siap berperang ketika sewaktu-waktu musuh menyerang. Kampung sepuluh terdiri dari Murung Kliwen, Pimpingen, Mungsit, Harara, Patai, Lasi Muda / Dayu, Sarabon, Pagar, Tangkan, Bangi Sampa Tulen.
3.  Kelompok ketiga menamakan kelompok mereka Paju Epat juga dipengaruhi oleh lafal melayu jika diterjemahkan sebutan paju adalah kelompok, sebutan epat  adalah empat. Jadi, paju epat berarti kelompok empat yang dihuni oleh para tokoh-tokoh, para pejabat dan keturunan dari Raja-Raja kerajaan Nansarunai. Paju epat terdiri dari Telang, Siong, Balawa, Murutuwu. Kelompok ini menghendaki upacara tentang duka cita adalah ijambe
Maksud PANGUNDRAUN PITU dengan dibantu para Uria dan para Patis tidak meneruskan lagi bentuk kerajaan karena takut terjadi lagi peperangan dengan kerajaan lain, secara khusus dengan pihak majapahit yang belum tentu dimenangkan oleh pihak bangsa Ma'anyan, sedangkan pertolongan tidak bisa diharapkan dari orang-orang maanyan madagaskar seperti saat perang periode kedua tahun 1362. Oleh sebab itu kepada seluruh masyarakat bangsa Ma’anyan dipersilahkan mencari tempat yang baru sesuai dengan pembagian wilayah-wilayah baru yang sudah ditentukan oleh para Uria dan Patis. Pembagian wilayah-wilayah baru sebagai tempat perkampungan bangsa Ma’anyan ini yang dikenal dengan nama Banua Lima,  Kampung  Sepuluh  dan Paju Epat. Terbaginya tiga wilayah dari perkampungan Dayak Ma’anyan yang baru ini, sebenanya adalah sebuah taktik perang serta strategi penyelamatan untuk bangsa Ma'anyan
1. Banua Lima adalah masyarakat Dayak Ma’anyan yang dianggap mampu berpolitik dan orang-orang pintar. Banua lima yang dihuni oleh para politisi dikarenakan menurut perhitungan PANGUDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua bahwa musuh kemungkinan akan menyerang melalui banua lima terlebih dahulu, karena wilayah banua lima secara langsung berdampingan dengan tiga kerajaan besar yaitu, negara dipa, kerajaan daha dan kerajaan kuripan yang merupakan bagian kerajaan majapahit di tanah Ma'anyan dibawah kepemimpinan mpu jatmika. 
2. ketika musuh datang menyerang Banua Lima, Banua Lima bertugas untuk bernegosiasi secara  politik untuk menahan kekuatan musuh. Namun, ketika Banua Lima sudah tidak mampu lagi menahan kekuatan lawan dengan cara berpolitik, maka musuh langsung akan berhadapan dengan sepuluh kampung yang dihuni oleh para prajurit dan kasatria Nansarunai yang sakti dan siap bertempur. 
3. ketika Kampung Sepuluh dan Banua Lima sudah tidak mampu lagi menahan serangan dari musuh, tugas Paju Epat sebagai penyelamat, dengan membawa masyarakat bangsa Ma’anyan yang masih hidup untuk melarikan diri melalui sungai telang menuju  sungai Barito. Karena itu lah wilayah Paju Epat sangat berdekatan dengan sungai barito.
Taktik perang serta strategi penyelamatan yang telah direncanakan oleh PANGUNDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua agar masyarakat bangsa Ma'anyan yang sudah kehabisan segala-galanya oleh dampak perang dalam beberapa periode yang menghancurkan segenap kehidupan masyarakat bangsa Ma'anyan  di Nansarunai serta memaksa mereka tersudut kepedalaman agar masyarakat Ma’anyan dapat memperolah kehidupan yang damai, aman dan sejahtera . Karena, hasil perundingan PANGUDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua di kampung Danau Halaman, menyatakan bahwa masyarakat bangsa Ma;anyan sudah terdesak dan tidak ada lagi tempat pelarian, sekarang hanya ada dua pilihan, yaitu :
1.Berperang sampai tetes darah penghabisan, atau
2. Menyelamatkan diri kearah yang tidak diketahui rimbanya. 
Dengan satu tekad, keturunan Nansaruani harus tetap hidup serta kejayaannya tidak boleh hilang untuk selama-lamanya. Inilah yang terjadi dalam sejarah Dayak Maanyan, perasaan saling menjaga, melindungi dan persaudaraan menjadi dasar utama dalam kehidupan bersama. Harapan agar masyarakat Ma’anyan dapat memperoleh kehidupan yang damai, aman dan sejahtera dapat dijaga sampai sekarang banua lima, kampung sepuluh dan paju epat tetap bertahan sebagai tiga wilayah besar masyarakat maanyan. Kerajaan nansarunai memang sudah hancur, hilang ditelan jaman. Kerajaan Nansarunai sekarang hanya tinggal sejarah yang kadang selalu orang pertanyakan, apakah memang benar kerajaan Nansarunai itu ada? Jawaban dari pertanyaan ini yang bisa saya berikan ”Nansarunai masih ada, tetap berdiri kokoh bersama kejayaannya di dalam setiap hati dan seluruh kehidupan masyarakat maanyan dimanapun berada".

Bukti sekarang bahwa sejarah ini benar adanya, dapat kita lihat melalui cara berbicaranya atau logat bicara mereka yang berbeda, yaitu :
1. banua lima adalah kelompok para politisi terlihat dari tata cara bahasa kelompok ini sangat halus.
2. kampung sepuluh adalah kelompok para prajurit terlihat dari tata bahasanya agak kasar.
3. paju epat adalah kelompok yang dihuni oleh para tokoh-tokoh, para pejabat dan keturunan dari Raja-Raja kerajaan Nansarunai terlihat dari tata bahasanya yang halus, tegas dan berwibawa yang masih memperlihatkan tata cara tegur sapa para pejabat kerajaan.

keterangan gambar :
1. Berwarna merah adalah PAJU EPAT
2. Berwarna kuning adalah KAMPUNG SAPULUH
3. Berwarna hijau adalah BANUA LIMA
4. Tanda panah berwarna merah adalah perkiraaan arah musuh akan datang menyerang bangsa Ma'anyan, karena di daerah itu adalah daerah strategis berdekatan dengan tiga kerajaan besar yaitu KERAJAAN DAHA, KERAJAAN KURIPAN DAN NEGARA DIPA.
5. Tanda panah berwarna hijau adalah arah yang merupakan tempat penyelamatan bangsa Ma'anyan melalui sungai Telang menuju sungai Barito jika terjadi Penyerangan / perang dengan tiga kerajaan besar yaitu KERAJAAN DAHA, KERAJAAN KURIPAN DAN NEGARA DIPA. arah itu menunjukan sungai Barito sebagai tempat penyelamatan.

Disusun Oleh : Wahyu Hadrianto, S.Th







NAMA WAKTU DALAM SUKU DAYAK MA'ANYAN

Di dalam suku Dayak Ma'anyan, Pengucapan kata salam yang ditujukan berhubungan dengan waktu pada satu hari dan satu malam, sebenarnya tidak hanya eksklusif atau terbatas pada tiga pengucapan salam yang biasa diucapkan oleh orang Ma'anyan masa kini, yaitu :
1. Selamat kaiyat

2. Selamat penah andrau
3. Selamat kamalem


Tetapi ada 19 pengucapan kata salam yang ditunjukkan untuk menunjukkan waktu. 
Pengucapan salam yang ditujukan kepada waktu tertentu itu juga, menunjukkan nama dari setiap waktu yang bergerak dalam satu hari satu malam.
Bangsa Dayak Ma'anyan kuno menggunakan pertanda alam untuk menentukan waktu, adapun nama-nama mengenai waktu, yaitu :

1. Kaiyat
Pukul 06.00 - 07.00 WIB
2. Mateandrau mam'mai tum'mang sunruk
pukul 07.00 - 08.30 WIB
3. Tangah naik
Pukul 08.30-10.00 WIB
4. Mam'mai sa'eto
Pukul 10.00 - 11.30 WIB
5. Sa'eto
Pukul 11.30-12.00 WIB
6. Luah sa'eto (ki'le)
Pukul 12.00-13.30 WIB
7. Mateandrau mihantak
Pukul 13.30-15.30 WIB
8. Mateandrau hang papuru kayu
Pukul 15.30-16.30 WIB
9. Mateandrau hang papuru pu'ai
Pukul 16.30-17.30 WIB
10. Kariwe
Pukul 17.30-18.00 WIB
11. Sirum
Pukul 18.00-18.30 WIB
12. Tukang iyeng
Pukul 18.30-19.00 WIB
13. Kamalem
Pukul 19.00-21.00 WIB
14. Nyungkat penah malem
Pukul 21.00-23.30 WIB
15. Penah malem
Pukul 23.30-24.00 WIB
16. Luah penah malem
Pukul 24.00-02.00 WIB
17. Dami hari han'te (Kokok ayam jago yang pertama)
Pukul 02.00-04.00 WIB
18. Dami hari rumis ( Kokok ayam jago yang kedua)
Pukul 04.00-05.30 WIB
19. Singkat ra'ai
Pukul 05.30-06.00 WIB
Jadi, antara waktu yang satu dengan waktu yang lain itu tidak sama pengucapan nya. Mereka berbeda-beda pengucapan, tergantung jam berapa itu.
Itulah salah satu kehebatan nenek moyang suku Dayak Ma'anyan ini, sebelum dibawanya jam untuk menunjukkan waktu oleh para pendatang, bangsa Ma'anyan sudah terlebih dulu punya jam untuk menunjukkan waktu dengan cara bangsa Ma'anyan itu sendiri.
Semoga warisan berharga dari nenek moyang bangsa Ma'anyan ini dapat menjadi kebanggaan bangsa Ma'anyan itu sendiri sebagai jati diri dan harga diri bangsa Ma'anyan.

ARTI SIMBOL W ADALAH WIRANG

Saya berkali-kali bertanya kepada seorang ibu di facebook dengan nama akun Pebruantine Antin, beliau yang memposting foto ini di Facebook tepat di group perkumpulan Dayak Ma'anyan, group Facebook tempat keturunan bangsa Ma'anyan saling bertemu dan saling menyapa satu dengan yang lain dengan spirit Nansarunai.

Ibu bisa menjelaskan kepada saya arti simbol W itu, karena jika saya mencoba membaca arti dari bahasa Belanda itu mengatakan bahwa simbol W itu adalah simbol yang tinggi, simbol yang niscaya adalah sebuah simbol yang sangat dihormati oleh bangsa Ma'anyan. Dengan rasa penasaran saya, opini yang saya bangun adalah rasa praduga bahwa mungkin, mungkin sebuah kebenaran bahwa simbol W itu bukan simbol yang biasa. Saya pun berdoa, seraya berharap, ketika saya mengajukan pertanyaan ini, beliau langsung membuka data dan mencari arti dari simbol W itu, agar dapat memberi penjelasan kepada saya, serta menjawab rasa penasaran saya.
Dari penjelasan beliau mengatakan bahwa arti dari simbol W berarti WIRANG, karena dimasa lampau ada WIRANG RAMA (Mungkin menurut hemat saya, WIRANG RAMA ini seperti sebuah perkumpulan dari masyarakat bangsa Ma'anyan di masa lalu), jika diartikan arti dari WIRANG RAMA itu berarti lumbung padi bersama, yang berati melambangkan kemakmuran bersama, senasib sepenanggungan bersama.
Berdasarkan penjelasan beliau ini ada kesesuaian dengan praduga saya sejak awal bahwa simbol W itu bukan simbol yang biasa. Namun sebuah simbol yang memiliki arti yang mendalam bagi bangsa Ma'anyan.

Walaupun sejarah tentang simbol W ini belum lah lengkap, namun bisa menjadi sebuah tesis pertama untuk membuka tabir sejarah ketahapan selanjutnya.

Semoga ada, dari kawan-kawan yang lain yang mau melakukan sebuah penelitian yang akurat lagi dari sejarah simbol W itu.

Sabtu, 13 April 2019

KAMPER (KAMPUNG SEPER)

saya beberapa kali bertanya apa arti KAMPER yang ada di Kota Buntok (disingkat: BNT) yang adalah salah satu kota sekaligus kelurahan di Kecamatan Dusun Selatan, Kabupaten Barito Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah. Dari beberapa kisah yang saya dengar, saya kemudian mendapat sesuatu yang unik, unik nya apa ya?
Pada masa pendudukan Belanda di Kalimantan, khususnya wilayah Kalimantan bagian selatan dan tengah ( sekarang Kalimantan tengah) tepat nya di Buntok. Buntok menjadi tempat sentral pemerintah Belanda wilayah barito atau wilayah Dayak Ma'anyan. Keberadaan pusat pemerintahan Belanda ini juga menyulap Buntok menjadi kampung yang maju dan juga menjadi ikon untuk wilayah Dayak Ma'anyan. Pemerintah Belanda di Buntok sangat berkembang pesat, selain sebagai pusat pemerintah sektor Barito, tetapi juga menjadi basis kekuatan militer Belanda untuk wilayah Barito. Hal itu juga di dukung karena memang dari jaman dahulu Buntok memang menjadi sentral dermaga pelabuhan untuk jual beli para pedagang dari mana saja yang datang berdagang ke buntok. Keberadaan kekuatan militer Belanda yang berbasis di Buntok ini juga memberi angin segar bagi terciptanya keamanan di Buntok dan sekitarnya, salah satu bentuk terciptanya keamanan yang diberikan pemerintah Belanda di Buntok adalah di bangunnya PENJARA, di bangunnya PENJARA itu sendiri salah satunya sebagai tempat para penjahat yang di tangkap untuk mendapatkan hukuman oleh karena sudah meresahkan masyarakat di Buntok dan sekitarnya.
Ketika masa pemerintahan Belanda di sektor Barito tepatnya di wilayah Dayak Ma'anyan berakhir, ketika perang Banjar berlangsung di seantero wilayah Kalimantan bagian selatan dan tengah. pemerintahan Belanda yang berada diwilayah itu kemudian dengan segera meninggalkan seluruhnya tanpa membawa apapun, dan untuk segera pergi meninggalkan Kalimantan. Sehingga Buntok kemudian menjadi salah satu wilayah basis peperangan.
Setelah beberapa tahun kemudian, ketika perang Banjar berakhir, para penduduk Buntok kembali dengan keyakinan untuk membangun kembali Buntok seperti sediakala, pusat pemerintahan Belanda di Buntok yang sudah ditinggalkan ini kemudian dibangun perkampungan yang baru, salah satunya di wilayah PENJARA milik pemerintah Belanda di Buntok.
perkampungan yang dibangun diwilayah bekas PENJARA Belanda ini berkembang pesat. Dengan berkembang pesatnya kampung yang berada diwilayah bekas PENJARA Belanda ini, maka penduduk memberikan nama kampung baru ini dengan nama KAMPER yang jika diartikan yaitu KAMPUNG SEPER, kata SEPER dalam bahasa Dayak Ma'anyan berati PENJARA. Jadi jika dalam bahasa Indonesia disebut sebagai KAMPUNG PENJARA, dan jika dalam bahasa Dayak Ma'anyan disebut KAMPUNG SEPER atau disingkat sebagai KAMPER.

Sabtu, 16 Maret 2019

ANAK LAKI-LAKI BANGSA MA'ANYAN ITU BERGELAR ANAK NANYU

Terlahir sebagai laki-laki bangsa Ma'anyan, secara sadar atau tidak sadar, ia memiliki tanggung jawab yang besar, baik kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa Ma'anyan itu sendiri. Oleh tanggung jawab yang besar itu lah, laki-laki Ma'anyan mendapatkan gelar kehormatan sejak ia lahir ke dunia, gelar kehormatan laki-laki bangsa Ma'anyan adalah sebagai ANAK NANYU. ANAK NANYU itu sendiri jika diartikan kedalam bahasa Indonesia yaitu, ANAK artinya anak dan NANYU artinya Halilintar, jadi ANAK NANYU berarti anak halilintar. tanggung jawab yang sangat berat itu harus lah seorang laki-laki bangsa Ma'anyan mampu menjalaninya, oleh karena itu laki-laki  bangsa Ma'anyan harus kuat, pemberani, dan gagah perkasa, sama seperti halilintar yang menyambar dan bergemuruh, yang membuat seantero jagad raya ini ketakutan. Sekali lagi, lahir sebagai laki-laki bangsa Ma'anyan ini bukan perkara mudah. Seperti tanuhui (Cerita) dibawah ini yang menggambarkan betapa beratnya tugas seorang anak laki-laki bangsa Ma'anyan.

Tanuhui :
"Sejak anak laki-laki bangsa Ma'anyan dikandung sang ibu, anak laki-laki itu sudah di tanya oleh sang pencipta,"Apakah kamu siap untuk hidup di dunia luar sana? Kalau kamu tidak siap maka kembalilah ke padaku, namun jika kamu siap, Aku berikan rejeki dan genggam lah erat di dalam genggaman tangan kiri dan kanan mu, jika kamu benar-benar sudah siap "TAMPAK HAUT WANAWANG IRU" atau dalam bahasa Indonesia, tendang lah pintu itu dengan seluruh kekuatan mu dan keluarlah. Dan ketika si anak NAMPAK atau menendang pintu itu dan keluarlah, ketika separuh matanya keluar, si anak pun terkejut ketika melihat bepata indahnya dunia yang sang pencipta katakan tadi, karena si anak terkejut  itulah menyebabkan kedua genggaman tangan nya terbuka, yang menyebabkan rejeki yang sudah sang pencipta berikan berterbangan ke seluruh dunia, si anak itupun menangis dengan sekeras-kerasnya, tangisan itu mengisyaratkan bahwa si anak itu sadar bahwa  tugasnya di dunia adalah mengumpulkan lagi rejekinya itu dengan bekerja keras, sampai terkumpul dan kembali lagi ke pada sang pencipta".

Dari tanuhui di atas itu lah menceritakan, beratnya beban terlahir sebagai seorang laki-laki bangsa Ma'anyan ini, tangisan pertama ketika si anak lahir itu lah yang menyebabkan hati sang Pencipta tersentuh, sang pencipta pun memberikan ruh suci untuk menjaganya dari marabahaya, dan dengan di berikannya ruh suci itu, maka si laki-laki bangsa Ma'anyan ini bisa memanggil ruh suci itu untuk meminjamkan kekuatan yang juga berasal dari sang pencipta.
tugas yang berat selanjutnya yaitu mengumpulkan rejeki nya yang sudah berterbangan ke seluruh dunia ketika genggamannya yangterbuka setelah kagum melihat indahnya ciptaan Tuhan, maka dari itu jangan heran jika laki-laki bangsa Ma'anyan ini adalah seorang laki-laki yang pekerja keras dan gigih. maka oleh pekerja keras dan gigih ini lah menjadikan seorang laki-laki Bangsa Ma'anyan itu mampu mengumpulkan rejeki yang sudah dititipkan oleh yang Kuasa dan laki-laki bangsa Ma'anyan ini banyak yang sukses dan kaya raya. maka oleh itu, pantang bagi seorang laki-laki Bangsa Ma'anyan untuk mejadi Pengemis. 
Tetapi, Walaupun beratnya tanggung jawab seorang laki-laki bangsa Ma'anyan ini, mereka adalah orang yang penyabar dan rendah hati, serta mereka ini sangat setia, dan sangat ideal sebagai suami, karena laki-laki bangsa Ma'anyan ini "MANUWU NELANG BA ALIMU", TAMPAN DAN SAKTI.

DITULIS OLEH : WAHYU HADRIANTO, S.TH

Minggu, 10 Maret 2019

PUSAKA KEDAMUNGAN DAYU " GELANG GANER DAN WATU MARUEI"

A. KEDAMUNGAN DAYU
Kerajaan Kedamungan Dayu merupakan Kerajaan pertama yang berdiri di wilayah baru bangsa Ma'anyan, wilayah baru tersebut yaitu Banua Lima, Kampung Sapuluh dan Paju Epat, dan merupakan kerajaan kedua setelah kerajaan NANSARUNAI. Berdirinya kerajaan kedamungan dayu itu sendiri bermula ketika beberapa penduduk dari Paju epat memutuskan untuk membangun sebuah tempat baru dan terpisah dari Paju epat, tempat baru tersebut kemudian dinamakan DAYU LASI MUDA (sekarang desa Dayu kecamatan karusen janang kabupaten Barito Timur). perkembangan didaerah Dayu Lasi Muda semakin hari semakin berkembang pesat. muncul suatu gagasan sekaligus harapan dari penduduk Ma'anyan Dayu Lasi Muda untuk memanggil para Uria dan patis yang kemudian bermusyawarah bahwa, dalam musyawarah itu penduduk Ma'anyan dari Dayu Lasi Muda ingin membangun sebuah Kerajaan Ma'anyan di wilayah Ma'anyan yang baru itu, dengan mengangkat DAMUNG sebagai Raja, dan dengan berdirinya kerajaan baru ini pula ditawarkan model kepemimpinan baru ditanah Ma'anyan. Jika dimasa lalu kerajaan Bangsa Ma'anyan yang bernama kerajaan NANSARUNAI di pimpim oleh Raja yang bergelar DATU untuk laki-laki dan Permaisuri bergelar DARA. Maka, Kerajaan baru ini DAMUNG sebagai RAJA yang berkuasa. Dengan persetujuan dan restu dari para Uria dan Patis, segera dibangunlah sebuah kerajaan Ma'anyan di wilayah tanah Ma'anyan baru, karena DAMUNG sebagai Raja yang memimpin maka kemudian Kerajaan baru ini dinamakan KEDAMUNGAN DAYU, dan Kedamungan Dayu terpisah dari Paju epat, Banua lima dan kampung sapuluh, dan Kedamungan Dayu disebut sebagai PAJU ISA. kenapa dinamai dengan paju isa? karena mengingat pesan dari PANGUNDRAUN PITU saat berada di DANAU HALAMAN bahwa bangsa Ma'anyan diharapkan jangan membangun lagi sebuah kerajaan Ma'anyan, karena salah satu alasan jika terjadi peperangan seperti yang terjadi di Kerajaan NANSARUNAI, bangsa Ma'anyan belum tentu mampu bertahan dan melawan, bahkan bisa jadi Bangsa Ma'anyan akan musnah (GENOSIDA) tanpa tersisa satupun yang hidup oleh musuh yang tidak tahu kapan dan dimana saat mereka menyerang. cukup lah bangsa Ma'anyan hidup dalam wilayah Banua Lima, Kampung Sapuluh dan Paju Epat. jadi, Paju Isa ini lah yang kemudian dibentuk dan terpisah dari tiga wilayah besar Ma'anyan yang sudah di rancang oleh Pangundraun Pitu, agar di bangunnya kerajaan baru ini tidak merusak rancangan yang sudah disusun oleh para Pangundraun Pitu, serta dibentuknya Paju Isa ini untuk menghormati para Pangundraun Pitu. kedamungan Dayu ini kemudian mengangkat seorang Damung sebagai Raja Kedamungan Dayu dan memiliki singgasana yang bernama lewu hante. Namun, Damung-Damung kemudian yang dipercayakan menjadi seorang Raja yang memimpin di Kerajaan KEDAMUNGAN DAYU adalah keturunan dari Damung sebelumnya. Tidak dari keturunan Damung diluar silsilah keturunan KEDAMUNGAN DAYU. Damung pertama yang menjadi raja di kedamungan dayu adalah bernama URIA BIRING yang kemudian bernama DAMUNG ULUI UNDRO yang jika diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah Damung yang turun dari khayangan (Ului = turun, Undro = khayangan). setelah Damung Ului Undro menjadi raja di kedamungan dayu, damung Ului Undro juga mempunyai tugas suci karena, Damung Ului Undro merupakan satu dari tujuh URIA (URIA PITU), mereka adalah orang-orang pilihan yang dipilih langsung oleh pangundraun pitu untuk membawa tugas suci yaitu membawa Hukum Adat Ma'anyan, Hukum Adat Ma'anyan tentang Kehidupan dan Hukum Adat Ma'anyan tentang Kematian kedaerah dimana tempat para Uria dan Patis Berdiam, begitu juga Damung Ului Undro membawa Tugas suci itu ke Dayu Lasi Muda, tugas suci ini diberikan ketika perpisahan besar di daerah terakhir tempat berkumpulnya seluruh keturunan dan masyarakat dari kerajaan NANSARUNAI, sebelum berpisah menuju tempat yang baru, dengan harapan adanya kedamaian dan kesejahteraan disana. daerah itu bernama DANAU HALAMAN. perpisahan besar itu kemudian dinamakan URIA PITU DAN PATIS EPAT PULU (URIA 7 DAN PATIS 40), dan nama itu menjadi abadi dalam sejarah perjalanan Bangsa Ma'anyan.

B. GALANG GANER DAN WATU MARUEI
Salah satu pusaka keagungan kedamungan dayu adalah gelang ganer dan watu maruwei, Pusaka adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu benda yang dianggap sakti atau keramat. Biasanya benda-benda yang dianggap keramat di sini umumnya adalah benda warisan yang secara turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang. watu maruwei itu berbentuk sebuah batu yang tersembunyi di dasar sungai dayu tepatnya di daerah yang bernama lubuk wenu yang konon hanya orang-orang yang sudah terpilih mampu mengangkatnya, serta saat mengangkat watu maruei, watu maruei tidak boleh terangkat sampai keluar dari air, karena jika keluar dari air maka akan terjadi malapetaka (dalam bahasa Ma'anyan disebut rume) sedangkan gelang ganer tergantung rapi ditiang soko guru atau tiang tengah, yang tepat berada dibawah guci/belanai/bangah tempat berdiamnya tokoh Ma'anyan kedamungan dayu yang bernama ABEH, di dalam balai Abeh yang berada di daerah yang bernama pulau amie.

C. PERAN GALANG GANER DAN WATU MARUEI UNTUK KEDAMUNGAN DAYU
Pada masa lalu kedua pusaka ini sangat menentukan bagi para pendekar dari kedamungan dayu untuk pergi berperang, kedua pusaka ini merupakan tempat seleksi siapa yang dianggap mampu untuk berangkat berperang. Sebelum berangkat untuk berperang, para pendekar harus diuji terlebih dahulu yaitu para pendekar memasukan tangan kedalam gelang ganer yang ada di balai abeh, jika tangan masuk maka pendekar tersebut diperbolehkan untuk berangkat berperang, sedangkan jika tangan si pendekar tidak bisa masuk kedalam galang ganer, maka sipendekar itu dipersilahkan dengan hormat untuk mengurungkan niatnya untuk berangkat berperang, setelah dilakukan seleksi di balai abeh, para pendekar yang sudah lulus seleksi dan dipercaya dapat pergi berperang, dengan restu dari damung, para pendekar ini langsung terjun ke sungai dayu di daerah yang bernama lubuk wenu untuk mengangkat watu maruwei yang berada didasar sungai, guna dari watu maruei ini adalah sebagai tempat para pangkalima mengasah senjata ama'ng atau mandau mereka sampai setajam-tajamnya. Setelah para pendekar selesai mengasah ama'ng atau mandau mereka di watu maruei, mereka kembali menghadap damung yang sebagai raja dari kedamungan dayu untuk melakukan ritual memohon restu para leluhur serta memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa agar para pendekar yang sudah siap berangkat berperang selalu dilindungi, setelah semua selesai, para pendekar siap untuk berangkat berperang.
DITULIS OLEH : WAHYU HADRIANTO, S.Th

Rabu, 06 Maret 2019

"JUWUNG SALELEI / JUWUNG MAPUI" (peperangan dan pembantaian mengerikan dalam sejarah Paju epat)

Ketika acara ijambe dikampung telang yang sekarang masuk kedalam kecamatan paju epat kabupaten barito timur, baik laki-laki dan perempuan, orang tua, anak-anak, pemuda, dewasa siapapun yang datang dari segala penjuru tanah Ma'anyan baik dari Paju epat maupun Banua lima dan kampung sapuluh dan keluarga besar dari keturunan GUSTI sebagai keturunan langsung dari kerajaan Banjar dan yang mewakili dari Kerajaan Banjar beserta seluruh masyarakat Banjar, mereka ikut datang dan ikut ambil bagian dalam acara ijambe ini, namun ditengah acara ijambe itu, tidak ada yang mengetahui dan menyadari bahwa mereka sedang di intai oleh bala seratus atau kayau / pemburu kepala yang sudah siap menyerang. Seketika teriakan perang dari dalam hutan menggelegar, penyerang membabi buta, membunuh siapapun yang ada, para pemuda tak mampu melawan, para pangkalima tak mampu berbuat banyak, mereka merasa lemah dan pasrah. Teriakan kesakitan mengaung, rintihan kesakitan dimana-mana, semua hanya ada darah dan terlihat mayat yang tak utuh bergelimpangan dimana-mana. orang-orang hanya mampu berlari ke dalam balai ijambe untuk bersembunyi, yang pada akhirnya menunggu giliran untuk dibunuh. ditengah kemelut yang mengerikan itu, seorang nenek tua renta meminta untuk diangkat keatas, keatap balai ijambe, semua orang didalam balai kebingungan atas permintaan nenek itu. nenek itu meminta dengan tertatih tatih akibat usia yang tak muda lagi, orang-orang didalam balai pun berusaha untuk membawa nenek tua itu keatap balai ijambe dengan berharap ada pertolongan, ketika nenek tua itu sampai diatap balai ijambe, ia pun melantunkan syair :


Tu‘u erang hila kuki nanyu nyiang lengan,tuu ueh makis,nunuk pakun nunuk,daya puang iyuh keu kuai alang inre,puang iyuh pinu itung kuai gunyeh malunyangan kurap. tuu budu dintung aku nganrei watang tenga,dulan nate aku nunup sa pakun nunup. tuu bangat nyiang lengan aku anak nanyu isa,daya welum ngaraerai tanan huru sa waleng wakis. tuu bangat udeu-udeu,naun idung anak jarang,daya puang mari basa aku bungsu lungai erai,puang ngapahapus unru,welumku ngaraerai. tu‘u bangat udeu-udeu naun unru lungai wahai,daya suwu-suwu lengan gading sa nini gawing. ware patategei lengen naun ninu pakakait kingking,nampan mira pakat,mira kia,huyung jangkau.


Arti :
aku terpanggil melagukan kegembiraan ini,karena sudah pasti kemenangan itu. tak perlu diingat hal yang terjadi,jangan diingat segala hal yang mengerikan itu. aku tidak dapat berperang,aku hanya menonton kejadian itu. karena baiknya suaraku,sehingga mereka kagum. aku menyanyi seperti ini karena ditinggal oleh mereka yang sudah tiada. wahai kalian yang pemberani,jangan gentar karena suara mandau yang berdesingan,mari bersatu padu,seia sekata,searah setujuan mencapai kemenangan.

Semua terdiam, keajaiban pun sedikit demi sedikit datang, para pemuda dan pangkalima berubah menjadi gagah perkasa siap bertarung sampai mati, semua pun bersama-sama berteriak kencang serta mencabut mandau dari pinggang dan siap berperang sebagai seorang kasatria, terdengar teriakan dari pihak musuh, ...BALA MANYAN... yang berarti pasukan dayak ma'anyan sudah siap berperang. tebasan, bacokan menggila, bala seratus tak mampu melawan ganasnya para pasukan dayak ma'anyan. Berbalik penyerang sekarang menjadi yang diserang, para penyerang mencoba mundur melarikan diri dari kampung telang, namun para kasatria dayak ma'anyan tak akan melepaskan begitu saja, tepat didaerah JUWUNG SALELEI pembantaian massal terjadi, tanah yang semula berwarna kuning muda berubah menjadi coklat oleh darah yang mengalir dari mayat-mayat yang bergelimpangan, dari seratus pasukan musuh hanya disisakan satu orang untuk hidup untuk menjadi saksi pertarungan itu. JUWUNG SALELEI, kecamatan paju epat, kabupaten barito timur nama tempat/daerah pertempuran hebat itu, konon sampai saat ini di daerah juwung salelei, tanah nya masih berwarna coklat yang berubah akibat darah oleh pembantaian yang mengerikan itu.

DITULIS OLEH : WAHYU HADRIANTO, S.Th