Sebagai
sebuah desa, Buntok sudah mulai maju dan terkenal disenatero Kalimantan dengan
pelabuhannya yang berada di tepi sungai barito, transaksi perdagangan serta
gudang garam yang didirikan oleh Belanda yang berada di desa Buntok. Tersiarnya
desa Buntok ini ke seantero Kalimantan membuat minat para pendatang dari semua
kalangan untuk datang, terlebih para pedagang yang berdatangan ke desa Buntok untuk
berdagang, desa Buntok yang kemudian menjadi sentral perdagangan mendapat restu
pula dari penguasa Landscaap Sihong yaitu Tumenggung Sota ono Sutanegara untuk menjadi
basis ekonomi kerakyatan dimana pada pennduduk asli yaitu orang maanyan juga
ikut ambil bagian dalam kegiatan pedagangan di desa Buntok. Adapun yang dijual
oleh orang Ma’anyan adalah dalam bentuk sayur—sayuran, buah-buahan,
rempah-rempa, ikan, perahu (jukung : red) ada banyak lagi. Desa Buntok semakin
maju pesat, dengan dukungan penguasa Landscaap Sihong, pedagang dari kerajaan Banjar
dan Belanda. Bisnis yang didirikan oleh Belanda didesa Buntok adalah Belanda mendirikan
gudang garam, peluang bisnis garam yang
akhirnya membawa desa Buntok mencapai kejayaan dalam usaha perdagangan. Dengan
semakin majunya desa Buntok, masyarakat dari berbagai wilayah berdatangan dan
mulai menetap di desa Buntok. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah yang tak
terelakan. Pendatang ingin menguasai desa Buntok dan menyingkirkan penduduk
asli, sangat mudah bagi pendatang untuk menyingkirkan penduduk pribumi ini,,
sedikit demi sedikit penduduk asli mulai tersingkir kepedalaman, namun ada
beberapa yang diam-diam mempertahankan tanah leluhur. Pendatang semakin hari
semakin berdatangan, terlebih ketika sentimen kulit putih mulai merambah hingga
kepedalaman Kalimantan, Dohong yang menjadi pemimpin desa Buntok ikut berperang
untuk mengusir Belanda agar perang Banjar tidak berdampak dan mengganggu
kehidupan di tanah Buntok khususnya serta diseluruh wilayah tanah ma’anyan dan sepanjang
sungai barito, serta perang banjar yang dipimpin oleh pangeran antasari semakin
menunjukan perlawanan yang tidak main-main terhadap Belanda. Dengan pecahnya
perang Banjar, masyarakat Banjar mulai lari mencari perlindungan kepedalaman
Kalimantan, yang pada saat itu desa Buntok yang menjadi tempat sentral pelabuhan
yang dengan mudah sampai dengan kapal dari Banjar. Penguasa Landscaap Sihong menerima
para pengungsi dari kerajaan Banjar dan sempat menolong Pangeran Antasari ketika
usaha penangkapan oleh Belanda yang dianggap pemberontak, hal ini juga menjadi hal
yang dilematis
bagi Landscaap Sihong. Namun, berkat pertolongan dari Landscaap Sihong pengungsi
dari kerajaan Banjar beserta seluruh keturunan kerajaan dapat diselamatkan dan
diungsikan, para keturunan kerajaan yaitu keturunan Gusti ini yang kemudian dipersilahkan
menentukan tempat yang ingin mereka pilih untuk hidup, karena untuk kembali ke
kerajaan Banjar sudah tidak mungkin lagi, karena kerajaan Banjar sudah luluh
lantah, hancur lebur dan rata dengan tanah, serta kerajaan Banjar hanya tinggal
kenangan karena sudah hilang untuk selama-lamanya.
Setelah
tujuh tahun perang yang mengerikan, dengan kehancuran dan pengorbanan nyawa yang
tidak sedikit, akhirnya tanah Kalimantan mulai damai, walaupun ada beberapa
geriliya yang dipimpin oleh anak dari pangeran Antasari yakni Sultan Muhamad
Seman beserta gerakan Beratib Beramal tetap menjadi basis perlawanan penduduk Banjar
untuk membalaskan kehancuran kerajaan Banjar oleh Belanda. Para pengungsi dari
kerajaan Banjar di Landscaap Sihong pun sudah hidup aman dan nyaman dan menetap
ditempat baru serta membangun kehidupan yang baru. Begitu pula di desa Buntok usaha
perdagangan mulai terlihat, namun gudang garam milik Belanda ditinggalkan
begitu saja tanpa ada yang mengurus. Dengan melihat peluang itu seorang
keturunan kerajaan banjar yakni Gusti Jamu serta dibantu oleh Anang Ngali dan Alimunuk
ingin menguasai gudang garam itu dan mendirikan perkampungan di seberang desa Buntok.
Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk sangat terkenal dengan kesaktiannya, hal
itu membuat penduduk asli desa Buntok ketakutan ditambah lagi pemimpin desa
Buntok yakni Dohong tidak ada kabar lagi setelah ikut berperang selama kurang
lebih tujuh tahun. Ada beberapa yang mengungsi, ada juga yang bertahan dengan
niat mempertahankan tanah leluhur, ada beberapa pula yang pergi untuk meminta
bantuan ke penguasa Landscaap Sihong.
Setelah
menerima laporan dari penduduk desa Buntok, penguasa Landscaap Sihong menolak
untuk berperang, Sota Ono menganggap para penduduk kerajaan Banjar beserta para
keturunan kerajaan dari kerajaan Banjar adalah saudara serta persaudaraan itu
sudah terjalin saat adanya kesepakatan damai antara raja Banjar dengan
masyarakat Buntok yang dipimpin oleh Dohong,
bahkan persaudaraan itu sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun silam
oleh nenek moyang dari kerajaan Naansarunai. Hal ini dapat dilihat dari adanya balai
Hakei yang ada di samping balai Ijambe Paju Epat. Rasa simpati penguasa
Landscaap Sihong itu juga muncul akibat kehancuran dari kerajaan Banjar ketika
terjadi perang Banjar yang mengakibatkan
penderitaan yang sangat luar biasa kepada seluruh penduduk dan keturunan
kerajaan yang memaksa mereka untuk mengungsi bahkan lari untuk menyelamatkan
diri serta berjuang antara hidup dan mati untuk mencari tempat baru untuk hidup
baru yang lebih aman, tentram dan sejahtera, serta melupakan untuk pulang kembali
ke kerajaan Banjar yang sudah hancur rata dengan tanah. Namun, hal ini malah
membuat gempar di desa Buntok, ketakutan yang dirasakan penduduk desa Buntok semakin
menjadi, ketika dikabarkan penguasa Landscaap Sihong yaitu Sota Ono tidak ingin
berperang untuk mengusir Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk beserta seluruh
penduduk yang sudah membangun perkampungan diseberang desa Buntok dan sudah
menguasai gudang garam Belanda di Buntok. Beberapa perkiraan atau kabar burung
yang tersiar di desa Buntok, bahwa Sota Ono yang juga sebagai penguasa
Landscaap Sihong tidak berani berperang untuk mengusir Gusti Jamu, Anang ngali
dan Alimunuk karena Gusti Jamu, Anang ngali dan Alimunuk sangat sakti
mandraguna, bahkan dengan kesaktian mereka, dapat diperkirakan mampu menaklukan
bukan hanya Buntok tetapi mampu menaklukan Landscaap Sihong bahkan seluruh
tanah Ma’anyan. Suasana di desa Buntok sangat mencekam, hampir semua penduduk
desa Buntok pergi mengungsi untuk menyelamatkan diri ke desa—desa yang
berdekatan dengan Buntok dan berlindung sampai ada respon dari penguasa
Landscaap Sihong untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di desa Buntok. Hampir
setiap hari gelombang pengungsi dari desa Buntok semakin bertambah, hal ini
membuat Gusti Jamu, Anang ngali dan Alimunuk semakin meraja lela dan berambisi
untuk menguasai desa Buntok.
Penguasa
landscaap Sihong pun memanggil para Tetua-tetua kampung, semua Damang, semua Mantir,
semua Panghulu, semua Wadian, semua Pangkalima, semua Damung, serta seluruh
petinggi kampung dari seluruh wilayah kedemangan Kampung Sepuluh, kedemangan Banua
Lima, kedamungan dayu dan kedemangan Paju Epat datang ke Landscaap sihong untuk
memecahkan persoalan yang terjadi di desa Buntok. Dan oleh Sota Ono diberikan
catatan yakni melawan Gusti Jamu, Anang ngali dan Alimunuk tanpa berperang.
Dari hasil musyawarah itu maka dipilihlah tiga orang yang dianggap mampu untuk
ditugaskan menyelesaikan masalah yang terjadi di desa Buntok. Mereka adalah Damung
Mayan penguasa dari kedamungan Dayu,
Pa’angkin dari Tamiang dan Mapangpus dari Ja’ar Sangarasi. Dengan cepat
kabar gembira itu sampai ditelinga penduduk desa Buntok baik yang masih menetap
di Buntok serta yang ada di pengungsian, para penduduk desa Buntok pun bersiap,
para pemuda yang siap untuk berperang dan para kasatria dari desa Buntok
berdatangan dari tempat pengungsian dibantu para kasatria dari desa-desa yang ada
di sekitar desa Buntok bahkan dari seluruh tanah ma’anyan, dengan segala
perlengkapan perang, mandau (ambang), tombak dan perahu (weta) yang sudah
dipersiapkan di tepian sungai barito untuk menyeberang berperang melawan Gusti
Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk. Tersiar pula di kampung seberang bahwa penduduk
desa Buntok siap untuk menyeberang dan berperang, persiapan perang pun
dipersiapkan semaksimal mungkin oleh penduduk seberang desa Buntok.
Datanglah
tiga utusan dari Landscaap Sihong, yang diutus untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi di desa Buntok. Sorak-sorai penduduk desa Buntok melihat tiga pangkalima ini datang, namun dengan
tegas ketiga pangkalima ini memerintahkan kepada semua penduduk desa Buntok
beserta seluruh kasatria Ma’anyan untuk menyimpan kembali semua peralatan
perang baik mandau (ambang : red), tombak dan perahu (weta : red), biarlah
mereka bertiga sendiri yang menyelesaikannya, seluruh penduduk Buntok kebingungan
mendengar perintah dari ketiga pangkalima
utusan Landscaap Sihong itu. Yang sangat mengherankan ketiga pangkalima ini memerintahkan agar perahu
(weta : red) ikut disimpan, dan mereka
dapat menyeberang dengan cara mereka sendiri. Teriakan perang terdengar dari
seberang desa Buntok, bersahut-sahutan seolah-olah sangat haus darah. Setelah menyuruh
seluruh penduduk desa Buntok menyimpan kembali semua peralatan perang, ketiga pangkalima ini turun ke sungai barito
dan mulai menginjak air barito, semua penduduk desa Buntok, seluruh kasatria Ma’anyan
dan penduduk yang ada diseberang desa Buntok sangat terkejut dan ketakutan
ketika melihat ketiga pangkalima itu
berjalan diatas air, mereka bertiga berjalan diatas air sungai barito,berjalan
menuju seberang desa Buntok untuk bertemu dengan penduduk seberang yang
dipimpin oleh Gusti Jamu, Anang ngali dan Alimunuk. Melihat kesaktian yang
sangat tidak masuk akal dan kesaktian
itu mungkin hanya dimiliki oleh para dewa saja, maka seketika tersentak dan
terkejutlah Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk dan seluruh penduduk seberang.
Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk dan
seluruh penduduk seberang langsung menjatuhkan senjata dan tunduk untuk
menghormati kedatangan ketiga pangkalima utusan Landscaap Sihong itu. Damung
Mayan, Pa’angkin dan Mapangpus kemudian
sampai di desa seberang dan disambut dengan hormat, ketiga pangkalima ini pun
mengutarakan maksud dan tujuan mereka bertiga datang mengunjungi Buntok karena
dikabarkan ada masalah, serta menyampaikan pesan dari penguasa Lanscaap Sihong
agar Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk menghentikan pertikaian yang ada
didesa Buntok yang kemudian menimbulkan keresahan dan ketakutan di tanah
ma’anyan serta meminta agar jangan ada lagi peperangan hingga pertumpahan darah
karena Ma’anyan dan Banjar adalah satu, satu leluhur dan satu nenek moyang
sama-sama keturunan dari kerajaan Nansarunai. Terlebih lagi di tanah Kalimantan
tepatnya di kerajaan Banjar beberapa waktu lalu telah terjadi peperangan yang
luar biasa dasyat yang menghancurkan seluruh kejayaan kerajaan Banjar dan
menelan korban yang tidak lah sedikit, yang pada akhirnya melenyapkan kerajaan
Banjar untuk selama-lamanya. Ketiga pangkalima
ini pun menyampaikan pesan dari penguasa Landscaap Sihong, yang meminta dengan
hormat kepada Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk untuk mencari tempat lain yang ada di wilayah
Landscaap Sihong, dimanapun untuk dijadikan tempat tinggal baru, agar tidak ada
lagi masalah di desa Buntok dan semua dapat hidup dengan damai, tentram dan
sejahtera. Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk beserta seluruh penduduk bersedia
dan siap untuk pindah dari kampung seberang desa Buntok dan mencari tempat lain
yang ada di wilayah Landscaap Sihong untuk menjadi tempat tinggal mereka yang
baru serta dapat hidup dengan damai dan sejahtera, serta Gusti Jamu, Anang
Ngali dan Alimunuk beserta seluruh penduduk yang dipimpin oleh Gusti Jamu
meminta maaf atas semua apa yang mereka lakukan terhadap masyarakat desa Buntok,
seluruh masyarakat Ma’anyan dan penguasa Landscaap Sihong, serta berterima
kasih kepada seluruh masyarakat Ma’anyan dan penguasa Landscaap Sihong karena
masih menerima mereka sebagai saudara dan mengijinkan mereka untuk tetap
tinggal di wilayah tanah ma’aanyan. Desa Buntok pun kembali damai, hingga
sampai saat ini diseberang sungai barito
kota Buntok kabupaten Barito Selatan hanya tanah kosong tak berpenghuni yang
ditumbuhi pepohonan lebat. Konon, Damung
Mayan setelah meninggal dunia kemudian beliau berubah menjadi naga dan
tinggal di bawah jembatan pulau amie berdekatan dengan rumah Abeh desa Dayu
kabupaten Barito Timur, beliau menjadi Nanyu bersama dengan Abeh menjadi penjaga
kedamungan Dayu untuk selama-lamanya. Inilah kisah yang dapat saya tulis, kisah
yang diceritakan oleh kakek saya Alm. Yurmansah Dohong. Semoga dari kisah ini
menjadi inspirasi kepada kita semua bahwa damai itu indah. Terima kasih