Kamis, 09 Juli 2015

PERANG BUNTOK BAGIAN 3

Sebagai sebuah desa, Buntok sudah mulai maju dan terkenal disenatero Kalimantan dengan pelabuhannya yang berada di tepi sungai barito, transaksi perdagangan serta gudang garam yang didirikan oleh Belanda yang berada di desa Buntok. Tersiarnya desa Buntok ini ke seantero Kalimantan membuat minat para pendatang dari semua kalangan untuk datang, terlebih para pedagang yang berdatangan ke desa Buntok untuk berdagang, desa Buntok yang kemudian menjadi sentral perdagangan mendapat restu pula dari penguasa Landscaap Sihong yaitu Tumenggung Sota ono Sutanegara untuk menjadi basis ekonomi kerakyatan dimana pada pennduduk asli yaitu orang maanyan juga ikut ambil bagian dalam kegiatan pedagangan di desa Buntok. Adapun yang dijual oleh orang Ma’anyan adalah dalam bentuk sayur—sayuran, buah-buahan, rempah-rempa, ikan, perahu (jukung : red) ada banyak lagi. Desa Buntok semakin maju pesat, dengan dukungan penguasa Landscaap Sihong, pedagang dari kerajaan Banjar dan Belanda. Bisnis yang didirikan oleh Belanda didesa Buntok adalah Belanda mendirikan gudang garam, peluang bisnis garam  yang akhirnya membawa desa Buntok mencapai kejayaan dalam usaha perdagangan. Dengan semakin majunya desa Buntok, masyarakat dari berbagai wilayah berdatangan dan mulai menetap di desa Buntok. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah yang tak terelakan. Pendatang ingin menguasai desa Buntok dan menyingkirkan penduduk asli, sangat mudah bagi pendatang untuk menyingkirkan penduduk pribumi ini,, sedikit demi sedikit penduduk asli mulai tersingkir kepedalaman, namun ada beberapa yang diam-diam mempertahankan tanah leluhur. Pendatang semakin hari semakin berdatangan, terlebih ketika sentimen kulit putih mulai merambah hingga kepedalaman Kalimantan, Dohong yang menjadi pemimpin desa Buntok ikut berperang untuk mengusir Belanda agar perang Banjar tidak berdampak dan mengganggu kehidupan di tanah Buntok khususnya serta diseluruh wilayah tanah ma’anyan dan sepanjang sungai barito, serta perang banjar yang dipimpin oleh pangeran antasari semakin menunjukan perlawanan yang tidak main-main terhadap Belanda. Dengan pecahnya perang Banjar, masyarakat Banjar mulai lari mencari perlindungan kepedalaman Kalimantan, yang pada saat itu desa Buntok yang menjadi tempat sentral pelabuhan yang dengan mudah sampai dengan kapal dari Banjar. Penguasa Landscaap Sihong menerima para pengungsi dari kerajaan Banjar dan sempat menolong Pangeran Antasari ketika usaha penangkapan oleh Belanda yang dianggap pemberontak, hal ini juga menjadi hal yang dilematis bagi Landscaap Sihong. Namun, berkat pertolongan dari Landscaap Sihong pengungsi dari kerajaan Banjar beserta seluruh keturunan kerajaan dapat diselamatkan dan diungsikan, para keturunan kerajaan yaitu keturunan Gusti ini yang kemudian dipersilahkan menentukan tempat yang ingin mereka pilih untuk hidup, karena untuk kembali ke kerajaan Banjar sudah tidak mungkin lagi, karena kerajaan Banjar sudah luluh lantah, hancur lebur dan rata dengan tanah, serta kerajaan Banjar hanya tinggal kenangan karena sudah hilang untuk selama-lamanya.
Setelah tujuh tahun perang yang mengerikan, dengan kehancuran dan pengorbanan nyawa yang tidak sedikit, akhirnya tanah Kalimantan mulai damai, walaupun ada beberapa geriliya yang dipimpin oleh anak dari pangeran Antasari yakni Sultan Muhamad Seman beserta gerakan Beratib Beramal tetap menjadi basis perlawanan penduduk Banjar untuk membalaskan kehancuran kerajaan Banjar oleh Belanda. Para pengungsi dari kerajaan Banjar di Landscaap Sihong pun sudah hidup aman dan nyaman dan menetap ditempat baru serta membangun kehidupan yang baru. Begitu pula di desa Buntok usaha perdagangan mulai terlihat, namun gudang garam milik Belanda ditinggalkan begitu saja tanpa ada yang mengurus. Dengan melihat peluang itu seorang keturunan kerajaan banjar yakni Gusti Jamu serta dibantu oleh Anang Ngali dan Alimunuk ingin menguasai gudang garam itu dan mendirikan perkampungan di seberang desa Buntok. Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk sangat terkenal dengan kesaktiannya, hal itu membuat penduduk asli desa Buntok ketakutan ditambah lagi pemimpin desa Buntok yakni Dohong tidak ada kabar lagi setelah ikut berperang selama kurang lebih tujuh tahun. Ada beberapa yang mengungsi, ada juga yang bertahan dengan niat mempertahankan tanah leluhur, ada beberapa pula yang pergi untuk meminta bantuan ke penguasa Landscaap Sihong.
Setelah menerima laporan dari penduduk desa Buntok, penguasa Landscaap Sihong menolak untuk berperang, Sota Ono menganggap para penduduk kerajaan Banjar beserta para keturunan kerajaan dari kerajaan Banjar adalah saudara serta persaudaraan itu sudah terjalin saat adanya kesepakatan damai antara raja Banjar dengan masyarakat Buntok yang dipimpin oleh Dohong,  bahkan persaudaraan itu sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun silam oleh nenek moyang dari kerajaan Naansarunai. Hal ini dapat dilihat dari adanya balai Hakei yang ada di samping balai Ijambe Paju Epat. Rasa simpati penguasa Landscaap Sihong itu juga muncul akibat kehancuran dari kerajaan Banjar ketika terjadi perang Banjar  yang mengakibatkan penderitaan yang sangat luar biasa kepada seluruh penduduk dan keturunan kerajaan yang memaksa mereka untuk mengungsi bahkan lari untuk menyelamatkan diri serta berjuang antara hidup dan mati untuk mencari tempat baru untuk hidup baru yang lebih aman, tentram dan sejahtera, serta melupakan untuk pulang kembali ke kerajaan Banjar yang sudah hancur rata dengan tanah. Namun, hal ini malah membuat gempar di desa Buntok, ketakutan yang dirasakan penduduk desa Buntok semakin menjadi, ketika dikabarkan penguasa Landscaap Sihong yaitu Sota Ono tidak ingin berperang untuk mengusir Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk beserta seluruh penduduk yang sudah membangun perkampungan diseberang desa Buntok dan sudah menguasai gudang garam Belanda di Buntok. Beberapa perkiraan atau kabar burung yang tersiar di desa Buntok, bahwa Sota Ono yang juga sebagai penguasa Landscaap Sihong tidak berani berperang untuk mengusir Gusti Jamu, Anang ngali dan Alimunuk karena Gusti Jamu, Anang ngali dan Alimunuk sangat sakti mandraguna, bahkan dengan kesaktian mereka, dapat diperkirakan mampu menaklukan bukan hanya Buntok tetapi mampu menaklukan Landscaap Sihong bahkan seluruh tanah Ma’anyan. Suasana di desa Buntok sangat mencekam, hampir semua penduduk desa Buntok pergi mengungsi untuk menyelamatkan diri ke desa—desa yang berdekatan dengan Buntok dan berlindung sampai ada respon dari penguasa Landscaap Sihong untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di desa Buntok. Hampir setiap hari gelombang pengungsi dari desa Buntok semakin bertambah, hal ini membuat Gusti Jamu, Anang ngali dan Alimunuk semakin meraja lela dan berambisi untuk menguasai desa Buntok.
Penguasa landscaap Sihong pun memanggil para Tetua-tetua kampung, semua Damang, semua Mantir, semua Panghulu, semua Wadian, semua Pangkalima, semua Damung, serta seluruh petinggi kampung dari seluruh wilayah kedemangan Kampung Sepuluh, kedemangan Banua Lima, kedamungan dayu dan kedemangan Paju Epat datang ke Landscaap sihong untuk memecahkan persoalan yang terjadi di desa Buntok. Dan oleh Sota Ono diberikan catatan yakni melawan Gusti Jamu, Anang ngali dan Alimunuk tanpa berperang. Dari hasil musyawarah itu maka dipilihlah tiga orang yang dianggap mampu untuk ditugaskan menyelesaikan masalah yang terjadi di desa Buntok. Mereka adalah Damung Mayan penguasa dari kedamungan Dayu,  Pa’angkin dari Tamiang dan Mapangpus dari Ja’ar Sangarasi. Dengan cepat kabar gembira itu sampai ditelinga penduduk desa Buntok baik yang masih menetap di Buntok serta yang ada di pengungsian, para penduduk desa Buntok pun bersiap, para pemuda yang siap untuk berperang dan para kasatria dari desa Buntok berdatangan dari tempat pengungsian dibantu para kasatria dari desa-desa yang ada di sekitar desa Buntok bahkan dari seluruh tanah ma’anyan, dengan segala perlengkapan perang, mandau (ambang), tombak dan perahu (weta) yang sudah dipersiapkan di tepian sungai barito untuk menyeberang berperang melawan Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk. Tersiar pula di kampung seberang bahwa penduduk desa Buntok siap untuk menyeberang dan berperang, persiapan perang pun dipersiapkan semaksimal mungkin oleh penduduk seberang desa Buntok.

Datanglah tiga utusan dari Landscaap Sihong, yang diutus untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di desa Buntok. Sorak-sorai penduduk desa Buntok melihat tiga pangkalima ini datang, namun dengan tegas ketiga pangkalima ini memerintahkan kepada semua penduduk desa Buntok beserta seluruh kasatria Ma’anyan untuk menyimpan kembali semua peralatan perang baik mandau (ambang : red), tombak dan perahu (weta : red), biarlah mereka bertiga sendiri yang menyelesaikannya, seluruh penduduk Buntok kebingungan mendengar perintah dari ketiga pangkalima utusan Landscaap Sihong itu. Yang sangat mengherankan ketiga pangkalima ini memerintahkan agar perahu (weta : red) ikut disimpan,  dan mereka dapat menyeberang dengan cara mereka sendiri. Teriakan perang terdengar dari seberang desa Buntok, bersahut-sahutan seolah-olah sangat haus darah. Setelah menyuruh seluruh penduduk desa Buntok menyimpan kembali semua peralatan perang, ketiga pangkalima ini turun ke sungai barito dan mulai menginjak air barito, semua penduduk desa Buntok, seluruh kasatria Ma’anyan dan penduduk yang ada diseberang desa Buntok sangat terkejut dan ketakutan ketika melihat ketiga pangkalima itu berjalan diatas air, mereka bertiga berjalan diatas air sungai barito,berjalan menuju seberang desa Buntok untuk bertemu dengan penduduk seberang yang dipimpin oleh Gusti Jamu, Anang ngali dan Alimunuk. Melihat kesaktian yang sangat tidak masuk  akal dan kesaktian itu mungkin hanya dimiliki oleh para dewa saja, maka seketika tersentak dan terkejutlah Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk dan seluruh penduduk seberang.  Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk dan seluruh penduduk seberang langsung menjatuhkan senjata dan tunduk untuk menghormati kedatangan ketiga pangkalima utusan Landscaap Sihong itu. Damung Mayan,  Pa’angkin dan Mapangpus kemudian sampai di desa seberang dan disambut dengan hormat, ketiga pangkalima ini pun mengutarakan maksud dan tujuan mereka bertiga datang mengunjungi Buntok karena dikabarkan ada masalah, serta menyampaikan pesan dari penguasa Lanscaap Sihong agar Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk menghentikan pertikaian yang ada didesa Buntok yang kemudian menimbulkan keresahan dan ketakutan di tanah ma’anyan serta meminta agar jangan ada lagi peperangan hingga pertumpahan darah karena Ma’anyan dan Banjar adalah satu, satu leluhur dan satu nenek moyang sama-sama keturunan dari kerajaan Nansarunai. Terlebih lagi di tanah Kalimantan tepatnya di kerajaan Banjar beberapa waktu lalu telah terjadi peperangan yang luar biasa dasyat yang menghancurkan seluruh kejayaan kerajaan Banjar dan menelan korban yang tidak lah sedikit, yang pada akhirnya melenyapkan kerajaan Banjar untuk selama-lamanya. Ketiga pangkalima ini pun menyampaikan pesan dari penguasa Landscaap Sihong, yang meminta dengan hormat kepada Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk  untuk mencari tempat lain yang ada di wilayah Landscaap Sihong, dimanapun untuk dijadikan tempat tinggal baru, agar tidak ada lagi masalah di desa Buntok dan semua dapat hidup dengan damai, tentram dan sejahtera. Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk beserta seluruh penduduk bersedia dan siap untuk pindah dari kampung seberang desa Buntok dan mencari tempat lain yang ada di wilayah Landscaap Sihong untuk menjadi tempat tinggal mereka yang baru serta dapat hidup dengan damai dan sejahtera, serta Gusti Jamu, Anang Ngali dan Alimunuk beserta seluruh penduduk yang dipimpin oleh Gusti Jamu meminta maaf atas semua apa yang mereka lakukan terhadap masyarakat desa Buntok, seluruh masyarakat Ma’anyan dan penguasa Landscaap Sihong, serta berterima kasih kepada seluruh masyarakat Ma’anyan dan penguasa Landscaap Sihong karena masih menerima mereka sebagai saudara dan mengijinkan mereka untuk tetap tinggal di wilayah tanah ma’aanyan. Desa Buntok pun kembali damai, hingga sampai  saat ini diseberang sungai barito kota Buntok kabupaten Barito Selatan hanya tanah kosong tak berpenghuni yang ditumbuhi pepohonan lebat. Konon, Damung Mayan setelah meninggal dunia kemudian beliau berubah menjadi naga dan tinggal di bawah jembatan pulau amie berdekatan dengan rumah Abeh desa Dayu kabupaten Barito Timur, beliau menjadi Nanyu bersama dengan Abeh menjadi penjaga kedamungan Dayu untuk selama-lamanya. Inilah kisah yang dapat saya tulis, kisah yang diceritakan oleh kakek saya Alm. Yurmansah Dohong. Semoga dari kisah ini menjadi inspirasi kepada kita semua bahwa damai itu indah. Terima kasih