Setelah
kekalahan kerajaan Nansarunai pada tahun 1358, ke dua belas pangunraun
bersama-sama seluruh masyarakat Nansarunai yang masih hidup dengan dibantu oleh
saudara orang Ma’anyan dari Madagaskar bertekad membalas kekalahan
kerajaan Nansarunai. Target penyerangan tersebut adalah Armada Majapahit di
daerah Tanjung Negara tahun 1362. Dalam serangan balasan tersebut, berakhir
dengan kekalahan pihak Majapahit dan menewaskan banyak prajurit Majapahit
beserta Laksamana Nala selaku panglima perang Majapahit.
Disusun Oleh : Wahyu Hadrianto, S.Th
Akibat
dari kekalahan pihak Majapahit yang menewaskan panglima perang Majapahit di
wilayah Tanjung Negara, dengan cepat Patih Gajah Mada mengirim Mpu Jatmika ke
tanah Ma'anyan yang bertugas untuk memperhatikan pergerakkan masyarakat
Ma’anyan dan menjaga keutuhan Kerajaan Majapahit di tanah Ma'anyan. Untuk
memudahkan tugas tersebut, Mpu Jatmika mendirikan dua kerajaan baru dibekas
Kerajaan Nansarunai yang di beri nama Kerajaan Daha dan Kerajaan Kuripan,
sebagai bagian kerajaan Majapahit di tanah Ma'anyan.
Pengaruh
dari kedua kerajaan baru ini membagi masyarakat Ma’anyan kedalam tiga golongan
secara khusus dari segi agama dan bahasa sebagai berikut :
1. Golongan
masyarakat yang memeluk agama Hindu Syiwa sejak tahun 1358, dan berpindah
memakai bahas Melayu.
2. Golongan masyarakat yang juga
memeluk agama Hindu Syiwa, tetapi masih tetap bertahan mempergunakan bahasa
Ma’anyan kuno.
3. Golongan masyarakat yang masih
menganut kepercayaan terhadap roh Nenek Moyang dan tetap memakai bahasa
pengantar dalam bahasa Ma’anyan atau bahasa Nansarunai. Dua kerajaan tersebut
tidak mendapatkan gangguan dari masyarakat Ma’anyan, secara khusus dari
golongan masyarakat ketiga ini.
Selanjutnya,
Mpu Jatmika mendirikan lagi sebuah kerajaan di bekas armada Majapahit di
tanjung negara yaitu Negara Dipa. Ketiga kerajaan ini membawa sebuah agama baru
yaitu agama Hindu Syiwa dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi
kerajaan. Tetapi masuknya agama Hindu Syiwa tersebut tidak mengubah bentuk
balai adat Ijambe masyarakat Dayak Ma’anyan.
Semakin
hari pengaruh ketiga kerajaan Hindu Syiwa tersebut semakin luas sehingga
membuat bangsa Ma’anyan terpojok ke daerah bangi sampa tulen dan membangun
sebuah kampung baru di wilayah Bangi Sampa Tulen, yang terkenal dengan sebutan
NANSARUNAI WAO atau Waruga Lewu Hante. Pembangunan di daerah Bangi Sampa Tulen
ini diharapkan dapat menciptakan keadaan yang lebih damai serta sejahtera bagi
masyarakat Ma’anyan. Namun karena terjadi kebakaran hebat yang menghanguskan
NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen, masyarakat Ma’anyan kembali kacau
balau. Kemegahan dari NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen harus musnah
di lalap api sekitar tahun 1389 untuk selama-lamanya.
Setelah
NANSARUNAI WAO di wilayah Bangi Sampa Tulen terbakar habis pada tahun 1389,
berkumpulah para Patih dan Uria untuk mengambil langkah selanjutnya, agar
masyarakat Ma’anyan yang selamat dapat memperolah kehidupan yang damai, aman
dan sejahtera. Dimulailah perjalanan pengembaraan dari Gunung Rumung, Banua
Lawas, Bakumpai Lawas, Wamman Sabuku, Labuhan Amas, Sandi Agung, Sandi Laras,
Kupang Sunnung, Danau Kien, setelah itu ke Baras Ruku dan hingga ke Danau
Halaman.
Di
kampung Danau Halaman ini, para Uria dan Patis dikumpulkan oleh PANGUNDRAUN
PITU dibawah nasehat seorang tokoh Bangsa Ma'anyan serta kepala adat bangsa
Ma'anyan yaitu Patis Mawonto. Kepada para Uria dengan dibantu oleh para
Patis diperintahkan untuk membawa hukum adat tentang kehidupan dan hukum adat
tentang kematian yang sudah disusun secara lengkap di Nansarunai. Mereka diperintahkan
untuk menata kehidupan baru di wilayah masing-masing berdasarkan hukum adat
Nansarunai. Pada periode ini terjadilah perpisahan besar dalam
Masyarakat Ma’anyan yang terkenal dengan sebutan Uria Pitu dan Patis Epat Polo
(Uria Tujuh dan Patis Empatpuluh). Setiap Uria pergi ketempat baru dengan
membawa unsur hukum adat Nansarunai :
1. Uria Nata
atau Uria Napulangit (beragama Islam) ke Telang dan Siong.
2. Uria
Ganting ke Murutuwu.
3. Uria
Mawuyung ke Balawa.
4. Uria Puneh
ke Taboyan, Lawangan Bawo.
5. Uria Pulang
Giwa ke Kahayan dan Kapuas.
6. Uria Rantau
atau Retan ke Sungai Karau.
7. Uria Putera
ke Dusun Sahimin.
Sesudah
perpisahan besar para Uria dan Patis, lahir lagi dua uria di wilayah Bangi
Sampa Tulen, yaitu :
1. Uria Biring
membawa hukum adat ke daerah Lasi Muda/Dayu
2. Uria Renn’a
membawa hukum adat ke daerah Patai Suku Hawa.
Perpisahan
besar ini membagi masyarakat Ma’anyan ke dalam tiga perkampungan utama dengan
tetap menggunakan hukum adat Nansarunai, yaitu :
1. Kelompok
pertama menamakan kelompok mereka Banua Lima yang sebenarnya adalah tumpuk
dime. Setelah masuknya pengaruh melayu, wilayah tumpuk dime berubah cara
penyebutannya menjadi banua lima yang dihuni oleh para politisi yang dianggap
mampu bernegosiasi. Banua lima terdiri dari Jangkung, Hadiwalang, Uwai, Pulau
Padang, Kayunringan.
2. Kelompok ke
dua menamakan kelompok mereka Kampung Sepuluh
yang sebenarnya adalah tumpuk sepuluh. Perubahan kata ini dipengaruhi oleh
lafal melayu dari kata tumpuk yang sama artinya dengan kampung sehingga sebutan
yang lebih dikenal dengan sebutan kampung sepuluh yang dihuni oleh para
prajurit dan kasatria kerajaan nansarunai sebagai benteng . Posisi kampung
sepuluh melengkung seperti setengah lingkaran membentuk seperti benteng
untuk menjaga paju epat serta siap berperang ketika sewaktu-waktu musuh
menyerang. Kampung sepuluh terdiri dari Murung Kliwen, Pimpingen, Mungsit,
Harara, Patai, Lasi Muda / Dayu, Sarabon, Pagar, Tangkan, Bangi Sampa Tulen.
3. Kelompok ketiga menamakan
kelompok mereka Paju Epat juga dipengaruhi oleh lafal melayu jika diterjemahkan
sebutan paju adalah kelompok, sebutan epat adalah empat. Jadi, paju epat
berarti kelompok empat yang dihuni oleh para tokoh-tokoh, para pejabat
dan keturunan dari Raja-Raja kerajaan Nansarunai.
Paju epat terdiri dari Telang, Siong, Balawa, Murutuwu. Kelompok ini
menghendaki upacara tentang duka cita adalah ijambe
Maksud
PANGUNDRAUN PITU dengan dibantu para Uria dan para Patis tidak meneruskan lagi
bentuk kerajaan karena takut terjadi lagi peperangan dengan kerajaan lain,
secara khusus dengan pihak majapahit yang belum tentu dimenangkan oleh pihak
bangsa Ma'anyan, sedangkan pertolongan tidak bisa diharapkan dari orang-orang
maanyan madagaskar seperti saat perang periode kedua tahun 1362. Oleh sebab itu
kepada seluruh masyarakat bangsa Ma’anyan dipersilahkan mencari tempat yang
baru sesuai dengan pembagian wilayah-wilayah baru yang sudah ditentukan oleh
para Uria dan Patis. Pembagian wilayah-wilayah baru sebagai tempat perkampungan
bangsa Ma’anyan ini yang dikenal dengan nama Banua Lima, Kampung Sepuluh
dan Paju Epat. Terbaginya tiga wilayah dari perkampungan Dayak Ma’anyan yang
baru ini, sebenanya adalah sebuah taktik perang serta strategi
penyelamatan untuk bangsa Ma'anyan:
1.
Banua Lima adalah masyarakat Dayak Ma’anyan yang dianggap mampu berpolitik dan
orang-orang pintar. Banua lima yang dihuni oleh para politisi dikarenakan
menurut perhitungan PANGUDRAUN PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala
adat mawonto serta para tetua bahwa musuh kemungkinan akan menyerang melalui
banua lima terlebih dahulu, karena wilayah banua lima secara langsung
berdampingan dengan tiga kerajaan besar yaitu, negara dipa, kerajaan daha dan
kerajaan kuripan yang merupakan bagian kerajaan majapahit di tanah Ma'anyan
dibawah kepemimpinan mpu jatmika.
2.
ketika musuh datang menyerang Banua Lima, Banua Lima bertugas untuk
bernegosiasi secara politik untuk menahan kekuatan musuh. Namun, ketika
Banua Lima sudah tidak mampu lagi menahan kekuatan lawan dengan cara
berpolitik, maka musuh langsung akan berhadapan dengan sepuluh kampung yang
dihuni oleh para prajurit dan kasatria Nansarunai yang sakti dan siap
bertempur.
3.
ketika Kampung Sepuluh dan Banua Lima sudah tidak mampu lagi menahan serangan dari
musuh, tugas Paju Epat sebagai penyelamat, dengan membawa masyarakat bangsa
Ma’anyan yang masih hidup untuk melarikan diri melalui sungai telang menuju sungai Barito. Karena itu lah wilayah Paju
Epat sangat berdekatan dengan sungai barito.
Taktik
perang serta strategi penyelamatan yang telah direncanakan oleh PANGUNDRAUN
PITU dibantu uria pitu, patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua
agar masyarakat bangsa Ma'anyan yang sudah kehabisan segala-galanya oleh dampak
perang dalam beberapa periode yang menghancurkan segenap kehidupan masyarakat
bangsa Ma'anyan di Nansarunai serta memaksa mereka tersudut kepedalaman
agar masyarakat Ma’anyan dapat memperolah kehidupan yang damai, aman dan
sejahtera . Karena, hasil perundingan PANGUDRAUN PITU dibantu uria pitu,
patis epat pulu, kepala adat mawonto serta para tetua di kampung Danau
Halaman, menyatakan bahwa masyarakat bangsa Ma;anyan sudah terdesak dan tidak
ada lagi tempat pelarian, sekarang hanya ada dua pilihan, yaitu :
1. Berperang sampai tetes darah penghabisan, atau
2.
Menyelamatkan diri kearah yang tidak diketahui rimbanya.
Dengan
satu tekad, keturunan Nansaruani harus tetap hidup serta kejayaannya tidak
boleh hilang untuk selama-lamanya. Inilah yang terjadi dalam sejarah Dayak
Maanyan, perasaan saling menjaga, melindungi dan persaudaraan menjadi dasar
utama dalam kehidupan bersama. Harapan agar masyarakat Ma’anyan dapat
memperoleh kehidupan yang damai, aman dan sejahtera dapat dijaga sampai
sekarang banua lima, kampung sepuluh dan paju epat tetap bertahan sebagai tiga
wilayah besar masyarakat maanyan. Kerajaan nansarunai memang sudah hancur,
hilang ditelan jaman. Kerajaan Nansarunai sekarang hanya tinggal sejarah yang
kadang selalu orang pertanyakan, apakah memang benar kerajaan Nansarunai itu ada?
Jawaban dari pertanyaan ini yang bisa saya berikan ”Nansarunai masih ada, tetap
berdiri kokoh bersama kejayaannya di dalam setiap hati dan seluruh kehidupan
masyarakat maanyan dimanapun berada".
Bukti
sekarang bahwa sejarah ini benar adanya, dapat kita lihat melalui cara
berbicaranya atau logat bicara mereka yang berbeda, yaitu :
1.
banua lima adalah kelompok para politisi terlihat dari tata cara bahasa
kelompok ini sangat halus.
2.
kampung sepuluh adalah kelompok para prajurit terlihat dari tata bahasanya agak
kasar.
3.
paju epat adalah kelompok yang dihuni oleh para
tokoh-tokoh, para pejabat dan keturunan
dari Raja-Raja kerajaan Nansarunai terlihat dari tata bahasanya yang halus,
tegas dan berwibawa yang masih memperlihatkan tata cara tegur sapa para pejabat
kerajaan.
keterangan
gambar :
1.
Berwarna merah
adalah PAJU EPAT
2.
Berwarna kuning
adalah KAMPUNG SAPULUH
3.
Berwarna hijau
adalah BANUA LIMA
4. Tanda panah
berwarna merah adalah perkiraaan arah musuh akan datang menyerang bangsa
Ma'anyan, karena di daerah itu adalah daerah strategis berdekatan dengan tiga
kerajaan besar yaitu KERAJAAN DAHA, KERAJAAN KURIPAN DAN NEGARA DIPA.
5. Tanda panah
berwarna hijau adalah arah yang merupakan tempat penyelamatan bangsa Ma'anyan
melalui sungai Telang menuju sungai Barito jika terjadi Penyerangan / perang
dengan tiga kerajaan besar yaitu KERAJAAN DAHA, KERAJAAN KURIPAN DAN NEGARA
DIPA. arah itu menunjukan sungai Barito sebagai tempat penyelamatan.
Disusun Oleh : Wahyu Hadrianto, S.Th
Tidak ada komentar:
Posting Komentar